Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Harun Alrasyid Lubis
Ketua Umum Masyarakat Infrastruktur Indonesia (MII)

Harun berpengalaman sebagai profesional di bidang akademik, kegiatan penelitian, dan konsultasi selama tiga puluh tahun. Tercatat pernah bekerja sebagai konsultan di PT LAPI ITB, dan perusahaan milik negara, Asian Development Bank (ADB), INDII dan Bank Dunia di bidang kebijakan, dan perencanaan transportasi, operasi, keuangan dan institusi, mencakup transportasi perkotaan dan nasional.

Selain dosen di ITB, Harun menjabat ketua umum Masyarakat Infrastruktur Indonesia (MII), dan Infrastructure Partnership and Knowledge Center (IPKC)

Tantangan Strategis Kendaraan Listrik (II)

Kompas.com - 03/09/2019, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tulisan ini merupakan bagian terakhir. Seri pertama dapat dibuka pada tautan berikut ini dengan judul "Tantangan Strategis Kendaraan Listrik (I)".

 

PENGALAMAN Pemerintah China memberikan contoh yang menarik dan kontras dengan pemerintah Taiwan. Sebelum tahun 1998, ada upaya untuk mempromosikan skuter listrik di China dan semua upaya tersebut kurang berhasil.

Baru setelah tahun 1998 ketika skuter listrik benar-benar lepas landas yang difasilitasi oleh praktik peraturan lokal dalam bentuk larangan skuter konvensional ditambah penegakkan standar yang sangat longgar untuk skuter listrik.

Banyak kota di China saat ini telah melarang dan atau membatasi sepeda motor konvensional dengan menggunakan berbagai cara. Misalnya penangguhan penerbitan lisensi (STNK) sepeda motor baru, membatasi jumlah STNK sepeda motor konvensiional.

Bahkan, beberapa kota melarang masuknya skuter konvensional di sejumlah ruas jalan besar di perkotaan. Larangan dan pembatasan itu menjadi pendorong utama untuk beralih ke skuter listrik.

Untuk diketahui, moda ini dikategorikan sebagai kendaraan non-motor. Sementara larangan dan pembatasan hanya berlaku untuk kendaraan bermotor.  Oleh karena itu, skuter listrik dibebaskan dari larangan dan pembatasan.

Berkat kebijakan tersebut, skuter listrik dapat mengisi kekosongan pasar yang diciptakan oleh larangan sepeda motor konvensional. Penjualan skuter listrik tahunan di China kemudian tumbuh secara eksponensial dari 56.000 pada 1998 menjadi lebih dari 21 juta pada 2008.

Hasil survei terbaru yang kami lakukan di Bandung menggambarkan cerita yang lebih kurang sama dengan contoh-contoh di atas.

Hasil survei sementara menjelaskan, dengan berbagai insentif yang membuat atribut skuter listrik menjadi sebanding dengan sepeda motor konvensional. Meski begitu, market share dari electrical vehicle (EV) diprediksi masih sulit mencapai seperempat dari total share dalam kurun waktu 40 tahun.

Akan tetapi, terdapat temuan menarik yang menunjukkan adanya potensi yang besar jika diberlakukan kebijakan disinsentif untuk sepeda motor konvensional (seperti yang dilakukan di China) sehingga dapat membalikkan keadaan dan membuat transformasi ke EV menjadi sukses.

Realokasi jumlah subsidi BBM dan listrik, misalnya, menunjukkan hasil awal yang menjanjikan dalam penelitian kami. Seperti diketahui, pemerintah Indonesia akan mengalokasikan masing-masing Rp 58,6 triliun dan Rp 100,68 triliun untuk program subsidi listrik dan bensin pada tahun 2020.

Jika komposisi subsidi ini secara bertahap dibalik selama 10 tahun dengan 100 persen anggaran subsidi hanya untuk listrik, dan subsidi untuk BBM dihapus sepenuhnya, diperkirakan akan bisa meningkatkan market share dari kendaraan listrik secara umum.

Dari penjelasan ini kita dapat belajar bahwa peralihan ke kendaraan listrik sebagian besar didorong oleh kebijakan pemerintah, dan karenanya menjadi sesuatu yang harus dicermati oleh pemerintah Indonesia.

Perpres Nomor 55/2019 menunjukkan telah sesuai dengan prinsip di atas, tetapi untuk menerapkan kebijakan subsidi perlu dilakukan studi komprehensif, agar tujuan utama secara efektif dapat tercapai.

Secara umum memberlakukan insentif besar, misalnya subsidi untuk kendaraan listrik tanpa ada upaya untuk mengurangi permintaan kendaraan konvensional tidak akan membuat transisi menjadi self-sustaining.

Selain China, cpntph negara ;ain adalah di Eropa, dan Amerika Serikat yang dapat menjadi panduan untuk membuat kebijakan insentif dan disinsentif kendaraan listrik vis a vis kendaraan bermotor konvensional.

Salah satu kebijakan yang efektif berpotensi dapat menurunkan permintaan kendaraan bermotor konvensional adalah pajak/cukai bahan bakar fosil.

Tetapi, untuk di Indonesia saat ini, kebijakan tersebut mungkin masih sulit dilaksanakan karena harus mempertimbangkan masak-masak risiko, dan dampak sosial-politik yang cukup tinggi.

 

Catatan redaksi, kolom ini dikerjakan bersama oleh:

Tryas Agung Praesha, S.T., M.Sc(Eng)
Transport Planner & Researcher
Member of Infrastructure Partnership and Knowledge (IPKC)

Ir. Harun Al Rasyid Lubis, Ph.D
Associate Professor ITB
Chairman of Infrastructure Partnership and Knowledge (IPKC)
Founder NCSTT ITB (National Centre for Sustainable Transport Technology)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com