Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Harun Alrasyid Lubis
Ketua Umum Masyarakat Infrastruktur Indonesia (MII)

Harun berpengalaman sebagai profesional di bidang akademik, kegiatan penelitian, dan konsultasi selama tiga puluh tahun. Tercatat pernah bekerja sebagai konsultan di PT LAPI ITB, dan perusahaan milik negara, Asian Development Bank (ADB), INDII dan Bank Dunia di bidang kebijakan, dan perencanaan transportasi, operasi, keuangan dan institusi, mencakup transportasi perkotaan dan nasional.

Selain dosen di ITB, Harun menjabat ketua umum Masyarakat Infrastruktur Indonesia (MII), dan Infrastructure Partnership and Knowledge Center (IPKC)

Tantangan Strategis Kendaraan Listrik (I)

Kompas.com - 02/09/2019, 11:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KENDARAAN listrik atau electrical vehicle (EV) sedang dipromosikan di banyak negara dunia sebagai inovasi moda transportasi pribadi, dan umum yang ramah lingkungan dan hemat energi.

Setelah mengalami beberapa kali penundaan, akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Pengembangan Kendaraan Listrik Berbasis Baterai (KLBB) guna mendorong terciptanya industri kendaraan listrik di Indonesia.

Untuk memahami dan mengantisipasi dampak implementasi perpres ini, kiranya penting melihat contoh di negara-negara lain tentang kondisi yang harus dipenuhi untuk mengalihkan penggunaan kendaraan bermotor konvensional berbasis internal combustion engine (ICE) ke kendaraan listrik.

Dari pengalaman di negara-negara lain yang lebih dulu melakukan upaya itu, terdapat berbagai kendala dan tantangan utama.

Antara lain kondisi teknologi yang belum matang atau sempurna (immature technology) dan harga kendaraan listrik, terutama untuk pribadi, yang relatif tinggi sehingga berdampak menghambat penetrasi di pasar otomotif.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa calon pengguna tidak tertarik membeli KLBB tanpa didukung teknologi yang layak dan teruji, akses dan infrastruktur pengisian listrik yang baik, ketersediaan suku cadang, dan layanan perbaikan yang cukup memadai.

Sementara di sisi lain, industri otomotif yang ada akan ragu untuk berinvestasi dalam teknologi dan infrastruktur KLBB tanpa prospek pasar yang cukup besar. Hal ini menciptakan masalah yang dikenal sebagai chicken and egg problem.

Sementara itu kendaraan konvensional berbahan bakar fosil (ICE) yang sudah ada, memiliki keunggulan kuat dalam aspek operasionalitas dan tersedianya infrastruktur, di samping industri tersebut sudah memiliki skala produksi dan bisnis yang besar saat ini.

Posisi tersebut ditopang oleh kemungkinan perbaikan kualitas berdasarkan pengalaman lapangan, dan umpan balik dari konsumen,  riset dan pengembangan, dan lain sebagainya,  memungkinkan untuk industri otomotif meningkatkan kualitas teknologi kendaraan, kinerja bahan bakar yang berdampak pada penurunan biaya produksi dan harga jual kepada konsumen sehingga menjadi terjangkau.

Beberapa negara, dengan berbagai tingkat kemajuan ekonomi, seperti Eropa, Amerika Serikat, India, China, Korea, dan Taiwan, menggunakan pendekatan berbeda-beda untuk merangsang transisi ke KLBB yang berkelanjutan.

Bahkan, beberapa dari mereka menggunakan insentif ekonomi dalam berbagai bentuk, misalnya pemberian subsidi untuk konsumen, produsen, atau meningkatkan harga bahan bakar fosil, tergantung dari efektifitas yang diharapkan, serta risiko politik yang dihadapi pemerintah setempat, untuk mendorong konsumen beralih ke KLBB.

Namun, program subsidi tersebut tidak selalu berhasil atau tidak dapat bertahan cukup lama untuk menciptakan transformasi yang berkelanjutan (self-sustaining).

Dari berbagai kasus yang ada, kita dapat melihat beberapa dalam konteks negara-negara di Asia. Di banyak negara Asia, sepeda motor adalah moda transportasi populer yang menjadikan Asia sebagai wilayah dengan populasi sepeda motor terbesar di dunia atau hampir 80 persen penjualan sepeda motor dunia terjadi di Asia.

Oleh karena itu, lebih tepat jika kita memulai dengan fokus pada transisi dari sepeda motor konvensional berbahan bensin ke sepeda motor listrik. Beberapa negara kurang berhasil dan beberapa cukup berhasil dalam mendukung peralihan ke skuter listrik.

Penting juga untuk melihat pendekatan kebijakan yang negara lain lakukan sebagai pembelajaran bagi Indonesia. Namun, dinamika dan eforia tentang kendaraan listrik sebagai bagian dari tesla effect, tidak menutup kemungkinan bahwa pasar otomotif di Asia yang sangat besar juga akan mengikuti tren dan dinamika dunia untuk mengadopsi kendaraan listrik dalam 5-10 tahun ke depan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau