Taiwan, salah satu pasar sepeda motor tertinggi, memiliki 15 juta sepeda motor pada 2012 dengan jumlah penduduk dewasa 24 juta jiwa. Jumlah ini merupakan 67 persen market share kendaraan bermotor pada 2007 yang tumbuh 32,5 persen dalam 10 tahun terakhir (2002 ke 2012).
Dengan tujuan mengurangi polusi udara, pada tahun 1990-an, Administrasi Perlindungan Lingkungan Taiwan (TEPA), memulai program untuk mendukung implementasi pemanfaatan skuter listrik.
Mereka menghabiskan sekitar 10 juta dollar AS selama periode 6 tahun (1998-2003) untuk menyubsidi skuter listrik dalam berbagai bentuk seperti pengurangan pajak untuk produsen, subsidi untuk riset dan pengembangan, kegiatan promosi, pengadaan fasilitas charging points, dan lain-lain.
Pembelian setiap skuter listrik disubsidi dengan nilai rata-rata 800 dollar AS per kendaraan. Dengan semua insentif tersebut, harga skuter listrik dapat menjadi kompetitif dengan skuter konvensional.
Akan tetapi, kebijakan tersebut kurang berhasil untuk memacu permintaan skuter listrik yang berkelanjutan, sehingga subsidi dihentikan pada tahun 2003.
Ada tiga poin penting yang patut dijadikan pembelajaran dari kasus Taiwan. Pertama, glitches yang muncul pada teknologi baru, ketidaknyamanan yang muncul karena pemanfaatan teknologi yang baru, serta tidak adanya pembatasan permintaan untuk skuter konvensional.
Seorang penjual skuter Taiwan mengatakan bahwa untuk setiap 10 konsumen yang membeli skuter listrik, semuanya akan kembali mengajukan keluhan.
Glitches sangat mungkin ditemukan dalam teknologi baru, dan infrastruktur pendukung biasanya tidak memadai sehingga menciptakan perasaan tidak nyaman untuk pengguna pertama.
Word of Mouth dan Social Exposure kemudian memainkan peran dalam memengaruhi perceived usefulness/benefit terkait penilaian terhadap skuter listrik. Semakin banyak hal buruk terjadi pada skuter listrik, semakin kecil perceived benefit skuter listrik bagi konsumen potensial dan para pengguna skuter konvensional.
Pengadopsi pertama yang tidak puas pada skuter listrik kemudian dapat dengan mudah beralih kembali ke skuter konvensional, karena saat itu tidak ada sama sekali pembatasan atau larangan untuk membeli skuter konvensional.
Catatan redaksi, kolom ini dikerjakan bersama oleh:
Tryas Agung Praesha, S.T., M.Sc (Eng)
Transport Planner & Researcher
Member of Infrastructure Partnership and Knowledge (IPKC)
Ir Harun Al Rasyid Lubis, Ph.D
Associate Professor ITB
Chairman of Infrastructure Partnership and Knowledge (IPKC)
Founder NCSTT ITB (National Centre for Sustainable Transport Technology)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.