JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana prmerintah membentuk peradilan pertanahan untuk menyelesaikan konflik agraria dan pertanahan dipertanyakan.
Kehadiran peradilan pertanahan dikhawatirkan tidak akan memberikan aspek keadilan, khususnya dalam menangani konflik agraria struktural.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, peradilan pertanahan hanya menganut rezim hukum positif legalistik.
"Yang otomatis petani, masyarakat adat, buruh tani yang menurut hukum positif itu ilegal, itu tidak akan memperoleh keadilan dengan sistem hukum pertanahan seperti itu," kata Dewi menjawab Kompas.com, Selasa (13/8/2019).
Baca juga: Delapan Hal Kontroversial RUU Pertanahan
Semestinya, harus dipisahkan antara penyelesaian konflik pertanahan dengan konflik agraria. Untuk konflik pertanahan, misalnya sengketa atas hak waris tanah antar keluarga itu bisa diselesaikan melalui mekanisme peradilan pertanahan.
Namun, untuk penyelesaian konflik agraria yang timbul akibat kebijakan pemerintah dalam penerbitan, misalnya, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH) hingga izin tambang, seharusnya diawali dengan mekanisme antara sebelum menuju pengadilan pertanahan.
"Apa itu? Yaitu penyelesaian konflik agraria yang sifatnya struktural melalui kelembagaan khusus yang sifatnya struktural tadi," imbuh Dewi.
Untuk diketahui, rencana pembentukan peradilan pertanahan muncul dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan.
RUU tersebut mengatur bagaimana menyelesaikan konflik agraria struktural di semua sektor melalui mekanisme win-win solution atau mediasi dan pengadilan pertanahan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.