SALAH satu tulang punggung perekonomian Indonesia saat ini adalah pembangunan infrastruktur. Hal ini ditandai dengan semakin baiknya kualitas dan kuantitas infrastruktur, baik infrastuktur ekonomi seperti jalan, kereta api, bandara, energi, pasokan listrik maupun infrastruktur sosial seperti pelayanan kesehatan, rumah sakit, gedung pendidikan, dan lain-lain.
Kini pengembangan infrastruktur di Indonesia sudah menggeliat. Meskipun terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan regional, Indonesia bertahan dengan kisaran pertumbuhan menengah 5,3 persen-5,6peren.
Kendati angka pertumbuhan ini di bawah harapan atau target pertumbuhan yang sudah ditetapkan, masih ada jeda waktu antara investasi infrastruktur dan hasil pertumbuhan. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah kita.
Bagaimana upaya lanjutan untuk memanfaatkan keberadaan stok infrastruktur yang sudah dibangun, terpelihara operasinya dan hasilnya berkesinambungan secara lintas sektor?
Ketika kualitas infrastruktur di sebuah negeri rendah, itu berarti bahwa perekonomian negara itu berjalan dengan cara yang sangat tidak efisien. Biaya logistik yang sangat tinggi, berujung pada perusahaan dan bisnis yang kekurangan daya saing (karena biaya bisnis yang tinggi).
Baca juga: Melepas Jebakan Negara Berpenghasilan Menengah (II)
Dari sisi kualitas infrastruktur sosial, misalnya, kesulitan masyarakat untuk mendapatkan akses fasilitas kesehatan, atau anak-anak tidak mendapat pasokan gizi yang berkecukupan, selayaknya semakin menurun kasusnya.
Bank Dunia saat ini mendefinisikan kisaran negara berpendapatan menengah antara pendapatan tahunan per kapita 1.006 dollar AS hingga di bawah 3.955 dollar AS untuk negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, dan kisaran lebih dari 3.956 dollar AS dan di bawah 12.235 dollar AS untuk kelas menengah atas.
Penggolongan ini mencakup serangkaian negara besar seperti Argentina, Brasil, dan China (berpenghasilan menengah atas) dan India, Indonesia, Pakistan, dan Filipina (berpenghasilan menengah bawah).
Studi oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa hanya ada 13 negara dari 101 ekonomi berpenghasilan menengah pada tahun 1960 telah menjadi negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2008. Fenomena ini dikenal sebagai “perangkap berpenghasilan menengah”.
Ekonomi yang sedang tumbuh menemukan dirinya berada dalam pendapatan menengah ketika ia jatuh ke dalam stagnasi yang berkepanjangan setelah fase pertumbuhan tinggi selama lepas landas ekonomi telah berakhir.
Dengan resesi jangka panjang Brasil dan penurunan tingkat pertumbuhan China, konsep ini telah mendapatkan relevansi baru.
Transformasi semacam ini membutuhkan liberalisasi hambatan regulasi dan birokrasi yang menghambat aktivitas kewirausahaan selama ini.
Negara-negara yang tetap terjebak dalam jebakan berpendapatan menengah berarti negara tersebut belum berhasil mengubah strategi pembangunannya dari ekonomi akumulatif dan imitatif (tiruan) menjadi ekonomi kompetitif, berdasarkan pengembangan wirausaha, inovasi dan kreativitas.
Peniruan mentah-mentah teknologi dari negara maju hanya menghasilkan pengembalian tinggi ketika kesenjangan pendapatan masih lebar.
Namun ketika kesenjangan pendapatan semakin menipis imitasi menjadi kurang layak dan ekonomi yang seharusnya muncul adalah berinovasi berdasarkan potensi diri sendiri.
Pada saat itulah kapitalisme negara, di negara ekonomi yang sedang berkembang perlu mendorong dan nenumbuhkan semangat kewirausahaan yang kuat, bila ingin ekonominya bertumbuh secara berkualitas.
Catatan di atas, menyisakan pekerjaan rumah susulan bagi Indonesia. Bisa dikatakan Indonesia masih harus melalui jalan panjang untuk mengejar ketertinggalan. Mungkin ini membutuhkan empat sampai lima periode kepemimpinan pemerintah selanjutnya asalkan ada arah dan upaya yang berkelanjutan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.