JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan tarif integrasi Tol Trans-Jawa antara pemerintah dengan badan usaha jalan tol (BUJT) hingga kini masih belum berujung titik temu. Alhasil, diskon tarif tol pun diperpanjang.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menjelaskan, adanya gap tahun pembangunan membuat penetapan tarif integrasi tak bisa berjalan dengan mudah.
"Ada yang tahun 2000-an, ada yang 2010. Sehingga harga tarif per kilometernya berbeda-beda," ujar Basuki di Jakarta, Selasa (26/3/2019).
Seperti Tol Jakarta-Cikampek yang beroperasi sejak 1988, tarif yang berlaku sebesar Rp 200 per kilometer.
Sementara Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) yang beroperasi sejak 2015 dikenakan tarif Rp 1.000 per kilometer.
Baca juga: Diskon Tarif Tol Trans-Jawa Berlaku sampai Lebaran 2019
Perbedaan struktur tarif inilah yang membuat pembahasan menjadi cukup panjang. Pasalnya, hal tersebut juga berkaitan dengan internal rate of return (IRR) atau pengembalian investasi BUJT ketika membangun tol tersebut.
"Kita jaga IRR-nya agar pendapatannya tidak terlalu turun. Kalau nanti sudah disepakati butuh subsidi atau butuh dukungan apa dari pemerintah juga akan dibicarakan," imbuh Basuki.
Untuk diketahui, sedianya, pemberian diskon tarif Tol Trans-Jawa berakhir pada 21 Maret lalu atau dua bula pasca-diterapkan pada 21 Januari 2019.
"BUJT perlu duduk lagi untuk menyinkronisasikan sistemnya. Sekarang belum. Data yang terintegrasi belum fixed," kata Direktur Operasi II PT Jasa Marga Tbk Subakti Sukur akhir pekan lalu.
Subakti mengaku, belum dapat memastikan sampai kapan perpanjangan diskon ini berlaku. Namun, bila formula tarif baru telah diputuskan, maka diskon yang berlaku segera dicabut.
Hingga kini, ia menambahkan, pembahasan masih berkutat pada formula penentuan tarif dan jarak batas maksimal.
Namun begitu, pemerintah kata Subakti berharap adanya tarif maksimum yang dibebankan kepada pengguna jalan bila telah mencapai jarak tertentu.
Akan tetapi, penentuan hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan mudah. Banyak pertimbangan yang masih diperhitungkan sebelum tarif baru diputuskan.
"Para ahli melihat dari faktor ekonominya. Macam-macam, banyak. Ada ekonomi daerah, juga mencari titik optimum berapa kilometer, itu belum ketemu," tutup Subakti.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.