Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Permukiman Tionghoa Harus Membelakangi Bukit

Kompas.com - 29/01/2019, 20:43 WIB
Rosiana Haryanti,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Rumah-rumah Tionghoa yang dibangun sebelum abad ke-19, terutama di kota-kota besar dan pesisir utara Pulau Jawa, biasanya berada di samping aliran sungai.

Pada masa itu, aliran sungai dimanfaatkan sebagai jalur transportasi.

Menurut dosen Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Adrian Perkasa, konstruksi rumah mereka sama dengan yang pernah mereka tinggali di daerah asalnya. Mereka memercayai kosmologi atau feng shui.

Selain itu, rumah yang dibangun juga harus membelakangi bukit yang melambangkan kura-kura hitam yang bersemayam.

Dalam kompleks permukiman ini, rumah ibadah atau kelenteng berada di sebelah selatan. Sementara untuk kompleks makam berada di daerah dataran tinggi atau perbukitan.

"Di Surabaya seperti di Kembang Jepun itu awalnya menghadap ke sungai. Terus kayak di Lasem semua pasti menghadap ke sungai. Sungai dianggap di mana burung merak yang berwarna merah," ujar Adrian kepada Kompas.com, Selasa (29/1/2019).

Sederet rumah tua di tepi Sungai Blandongan di kawasan Pecinan Glodok-Pancoran, Jakarta Barat, yang dihuni sejak tahun 1700-an, sejak beberapa tahun terakhir terbengkalai, Kamis (13/7). Warga setempat berharap lingkungan fisik serta jejaring sosial dan ekonomi Pecinan Jakarta ini dan disebut-sebut lebih tua dari enklave serupa di Malaysia dan Singapura dapat dipulihkan menjadi living heritage untuk menarik wisatawan.Santosa, Iwan Sederet rumah tua di tepi Sungai Blandongan di kawasan Pecinan Glodok-Pancoran, Jakarta Barat, yang dihuni sejak tahun 1700-an, sejak beberapa tahun terakhir terbengkalai, Kamis (13/7). Warga setempat berharap lingkungan fisik serta jejaring sosial dan ekonomi Pecinan Jakarta ini dan disebut-sebut lebih tua dari enklave serupa di Malaysia dan Singapura dapat dipulihkan menjadi living heritage untuk menarik wisatawan.
Setelah abad ke-19 atau sesudah dibangunnya jalan raya Daendels, banyak permukiman dan rumah ibadah mulai berubah menjadikan jalan raya sebagai poros. Selain permukiman, perubahan juga terjadi pada letak makam Tionghoa.

Menurut Adrian, perubahan arah rumah terjadi karena jalan mulai digunakan sebagai infrastruktur utama. Sebelumnya, masyarakat memanfaatkan aliran sungai sebagai alat transportasi.

"Mereka kan menguasai dan banyak bekerja di bidang ekonomi, vital sekali peran infrastruktur," ujar Adrian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau