JAKARTA, KOMPAS.com - Idealnya, sebuah proyek infrastruktur digarap dalam waktu dua hingga tiga tahun. Proyek yang digarap tergesa-gesa, dinilai rentan dengan berbagai resiko.
Pakar infrastruktur dari Universitas Indonesia Wicaksono Adi mengatakan, rentang waktu tersebut merupakan standar waktu yang biasa digunakan pada setiap pekerjaan proyek di Indonesia seperti jalan, jalan tol, jembatan, hingga dermaga.
Sementara, untuk proyek dengan tingkat kompleksitas teknis lebih tinggi seperti bendungan, membutuhkan waktu di atas tiga tahun bahkan mencapai lima tahun untuk penyelesainnya.
"Kalau bendungan lama, (misalnya) renovasi bendungan lama, karena ada masalah infrastruktur di situ, mungkin cukup 1-2 tahun. Di sini, saya tidak bicara semuanya ya, tapi secara umum kalau dikaji secara intelektual akademis, rata-rata itu butuh 2-3 tahun," kata Adi kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Baca juga: Menyoal Risiko Proyek Infrastruktur yang Digarap Tergesa-gesa
Belakangan, pemerintah gemar mengebut pekerjaan proyek infrastruktur. Alasannya, untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur dari negara lain, agar tingkat kompetisi Indonesia di dunia meningkat.
Menurut Adi, proyek infrastruktur yang digarap tergesa-gesa berpotensi menimbulkan risiko pada kemudian hari.
Hal itu tidak terlepas dari keterbatasan kemampuan kontraktor dalam mengerjakan proyek yang ditugaskan.
"Dari sisi kompleksitas logistik, pengerahan sumber daya manusianya, kemudian material itu juga tidak kecil. Dan kompleksitas lokasi juga. Apalagi kalau kita lihat situasi Indonesia yang berpulau-pulau," kata Adi.
Ia menjelaskan, sebelum sebuah proyek dikerjakan, biasanya ada perencanaan yang matang yang disusun kontraktor bersama konsultan perencana untuk meminimalisasi setiap risiko yang ada.
Perencanaan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah manual book untuk kemudian dipedomani oleh setiap pelaksana.
Di tengah kondisi cuaca yang rentan anomali seperti saat ini, maka langkah-langkah teknis yang telah disusun pun berpotensi berjalan lebih lamban.
"Kalau misalnya pada tahapan konstuksi tadi tidak kita lakukan sesuai manual yang ada di proyek otomatis akan berpengaruh pada kualitas infrastruktur itu sendiri," terang Adi.
Baca juga: Belum Sebulan Diresmikan Jokowi, Tol Pemalang-Batang Retak
"Jadi ini istilahnya mau ngebut bisa tapi konsekuensinya pada kualitas, atau kita menyesuaikan faktor yang ada contohnya musim hujan kita tidak bisa kerja cepat, baru musim kemarau kita kebut. Itu bisa mencapai kualitas tapi risikonya molor," imbuh Adi.
Salah satu risiko yang mungkin ditimbulkan yakni jalan akan rusak lebih cepat dari pada usia yang diperkirakan.
Seperti retaknya Tol Pemalang-Batang dan ambrolnya lereng penahan pada Tol Salatiga-Kartasura beberapa waktu lalu.
Kedua proyek tersebut rusak setelah hujan deras melanda kedua wilayah tersebut. Padahal, belum ada satu bulan Presiden Joko Widodo meresmikan kedua proyek tersebut.
Kerusakan yang terjadi pasca sebuah proyek infrastruktur selesai, tentu berpotensi membahayakan masyarakat sebagai pengguna jalan.
Risiko lainnya yakni terjadinya kecelakaan pada saat proyek infrastruktur itu dikerjakan.
Adi menambahkan, secara periode memang idealnya dibutuhkan waktu dua hingga tiga tahun untuk menyelesaikan setiap proyek tersebut.
Namun, penyelesaian itu di luar proses pembebasan tanah yang tak jarang juga memakan waktu lama, sehingga proyek infrastruktur yang telah direncakan berjalan molor dari target.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.