Ia bayar tukang Rp 15 per hari ditambah 20 persen saham kosong untuk mengadakan pembuatan enam kuburan mewah. Ia mulai dengan Rp 3.500 per kuburan dan yang terakhir membayar Rp 6.000.
Setelah semen dan beton habis, ia berhenti sebagai kontraktor.
Lini bisnis berikutnya yang diincar adalah kopra. Tak hanya berdagang, Eka bahkan rela berlayar ke sejumlah daerah untuk mendatangi sentra-sentra kopra agar mendapatkan barang yang lebih murah.
Ia pun nyaris mendulang untung besar. Pasalnya, Jepang mengeluarkan aturan jual beli minyak kelapa dikuasai Mitsubishi yang dibeli seharga Rp 1,80 per kaleng. Padahal, harga di pasaran Rp 6 per kaleng.
Eka pun mencari peluang lain dengan berjualan gula, teng-teng, wijen, hingga kembang gula. Namun, ketika usahanya mulai moncer, harga gula jatuh dan menyebabkan ia rugi besar. Bahkan, modalnya habis dan ia berutang.
Baca juga: Cerita Eka Tjipta Widjaja Jadi Kontraktor Kuburan (III)
Eka bahkan harus menjual jip, sedan, perhiasan keluarga termasuk cincin kawin untuk melunasi utang-utangnya.
Tapi bukan Eka namanya jika berputus asa. Ia pun memulai bisnis baru meski harus jatuh bangun. Seperti pada 1950, saat itu ada Permesta. Barang dagangannya, terutama kopra, habis dijarah oknum Permesta.
Pada masa Orba, perubahan besar terjadi. Di bawah kuasa tangan dinginnya, ia mampu membenahi aneka usaha yang tadinya bukan apa-apa menjadi ada apa-apanya.
Kemudian pada medio 1980-1981, ia membeli perkebunan kelapa sawit seluas 10.000 hektar di Riau, serta mesin dan pabrik berkapasitas 60.000 ton.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.