Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akurasi Data Tenaga Kerja Konstruksi Penting untuk Pemetaan

Kompas.com - 25/01/2019, 22:56 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Data tenaga kerja konstruksi diperlukan untuk memetakan jumlah tenaga kerja yang masuk kategori terampil dan ahli secara akurat.

Dengan akurasi, duplikasi jumlah tenaga kerja pun dapat diminimalisasi, sehingga diketahui secara pasti jumlah tenaga kerja konstruksi berikut sebarannya.

"Misalnya gini, kita punya 500.000 tenaga ahli konstruksi. Tapi ternyata ada 100.000 bohong. Ini kan merugikan," kata Wakil Ketua II bidang Hukum, Kontrak, Penyelesaian Sengketa Konstruksi dan Standarisasi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) John Paulus Pantouw di Kementerian PUPR, Jumat (25/1/2019).

Seperti diketahui, Kementerian PUPR telah bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memanfaatkan data kependudukan.

Baca juga: Pemerintah Manfaatkan Data Kependudukan Percepatan Sertifikasi

Dengan kerja sama ini diharapkan dapat mempercepat proses verifikasi data sebelum kegiatan sertifikasi dan menghindari terjadinya duplikasi data.

Umumnya, John mengatakan, ketika seorang tenaga kerja konstruksi mendaftar sebagai tenaga ahli atau terampil, mereka akan menyerahkan KTP.

Bila ada indikasi palsu, entah itu adanya ketidaksamaan foto atau nomor induk kependudukan yang tidak bisa dilacak, maka langkah tegas dapat diambil sejak dini.

"Sekarang ini masih lolos yang begitu-gitu. Dengan adanya (kerja sama dengan) Dukcapil ini, satu orang ya satu (data). Tidak bisa ada duplikasi lagi," ungkapnya.

John menyatakan, penipuan yang dilakukan oleh oknum tenaga terampil dan ahli tentu akan sangat merugikan pengguna.

Baca juga: Dalam 3 Tahun, Jumlah Kontraktor Besar Turun 15 Persen

Misalnya, ahli tersebut telah diterima bekerja oleh user. Setelah itu, ia mengikuti proses tender dan segala macam.

Namun setelah proyek didapat, ternyata ia tak bisa mengerjakannya dengan benar karena ternyata data yang tercantum pada data kependudukan berbeda atau tidak sesuai dengan kualifikasi yang disyaratkan.

John mengaku, hingga akhir 2018 pihaknya masih menerima puluhan laporan seperti itu yang datang dari berbagai wilayah di Tanah Air.

Meski demikian, ia menyebut, jumlah laporan yang masuk jauh lebih berkurang bila dibandingkan tahun 2017 yang mencapai sekitar 100 laporan.

"Kebanyakan kasus terjadi di daerah karena mungkin kebutuhan lagi tinggi dan pengawasan kurang. Selain itu, tidak ada yang betul-betul memahami dan mengecek atau mengontrol," kata dia.

"Kasus terbaru terjadi di Lampung. Sudah proses di pengadilan, itu pun sudah dihukum. Dia (terbukti) memalsukan sertifikat ini di-pishing istilahnya. Itu sudah kita proses melalui siber Bareskrim," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com