Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Enam Penyebab Orang Malas Naik Angkutan Umum

Kompas.com - 11/01/2019, 14:44 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Semakin menjamurnya penggunaan kendaraan pribadi di kota-kota besar, tidak terlepas dari buruknya manajemen sistem angkutan kota. Terutama berupa bus sedang seperti kopaja atau metromini atau angkot minibus.

Di sisi lain, kemampuan daya beli masyarakat semakin tinggi seiring dengan peningkatan ekonomi. Alhasil, mereka cenderung membeli kendaraan pribadi berupa mobil atau sepeda motor untuk menunjang mobilitas sehari-hari.

Country Director Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Yoga Adiwinarto mengatakan, buruknya manajemen sistem angkutan kota harus dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi penyedia jasa layanan dan dari sisi pemerintah.

Dari sisi penyedia jasa layanan, setidaknya ada enam persoalan yang kerap dialami pada sistem angkutan kota di kota besar.

Pertama, kepemilikan armada secara individual, dan bukan oleh operator yang memang diberi mandat untuk menjalankan bisnis angkutan kota.

Kedua, kualitas armada di bawah standar. Bahkan pada beberapa kasus banyak ditemukan angkot berusia tua yang masih dibiarkan berjalan di ibu kota.

Baca juga: Rp 65 Triliun Hilang Per Tahun akibat Kemacetan di Jadebotabek

"Ketiga, kompetisi yang tidak sehat antar operator. Bisa saja terjadi kebut-kebutan. Dua angkot dia jalan barengan sambil kebut-kebutan, tapi setelah itu 10-15 menit tidak ada lagi. Itu karena pemiliknya beda," kata Yoga saat dihubungi Kompas.com, Jumat (11/1/2019).

Berikutnya, performa layanan yang tidak layak. Hal lainnya yakni tarif angkutan umum yang tidak terintegrasi, sehingga menyebabkan penumpang harus membayar tarif berkali-kali serta mahal.

Terakhir, kondisi infrastruktur yang tidak memadai.

Sementara dari sisi pemerintah, ada perbedaan perlakuan terhadap industri angkutan umum di setiap kota. Dengan demikian, meskipun pemerintah telah berusaha menjalankan strategi baru dalam memperbaiki mobilitas kota, belum berhasil memberikan perubahan berarti.

Hal lain, meski investasi yang dibenamkan pemerintah di sektor transportasi sudah cukup besar, kenyataannya hal itu belum mampu mendorong masyarakat untuk berpindah moda. Seperti di Jakarta, misalanya, dimana pemerintah membangun jaringan Transjakarta, LRT, bahkan MRT.

"Cuma memang dia itu selalu terbatasi dengan tempatnya daerah administrasi kota Jakarta saja. Jadinya kita lihat mereka itu tidak bisa integrasikan," kata dia.

Tidak semua masyarakat dapat mengakses Transjakarta, MRT atau LRT karena lokasi tempat tinggal mereka yang tidak berdekatan dengan halte atau stasiun.

Sementara, angkutan kota yang diharapkan dapat menjadi moda pengumpan ketiga transportasi massal tersebut tidak mampu memberikan pelayanan yang baik.

Alhasil, masyarakat cenderung menggunakan kendaraan pribadi mereka untuk menuju lokasi-lokasi yang hendak dituju, seperti kantor atau sekolah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau