JAKARTA, KOMPAS.com – Berbagai kalangan menilai implementasi pembangunan hunian dengan konsep transit oriented development (TOD) yang sedang gencar digalakkan oleh pemerintah melenceng dari tujuan yang seharusnya.
Salah satu masalah yang menjadi sorotan adalah praktik komersialisasi berlebihan (over commercialization) atas hunian dan infrastruktur transportasinya.
BUMN yang mencoba merealisasikan konsep TOD hanya menganggap masyarakat kota sebagai konsumen yang menjadi obyek bisnis semata.
Padahal, menurut Ketua Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro, keberadaan suatu kota tidak terjadi begitu saja.
Baca juga: Tiga BUMN Bangun 10.783 Unit Apartemen TOD
Segala kebaikan dan keburukannya tergantung dari pemerintah yang mengatur dan masyarakat yang hidup di kota tersebut.
Pelaku pengembangan hunian berkonsep TOD (terutama BUMN) hanya memikirkan pendapatan dan keuntungan yang diperoleh dari masyarakat.
“TOD di Indonesia tidak proporsional karena pemikirannya hanya dari aspek komersial semata. Ada bahaya over commercialization dari TOD,” ucap Bernardus ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (11/12/2018).
Jika konsep TOD tidak dikerjakan dengan benar, akan menghilangkan kesempatan untuk meremajakan dan merevitalisasi kota.
Bagi dia, peremajaan kota merupakan masalah yang harus diperhatikan karena berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan hidup yang layak dan berkualitas, seperti bisa dilihat di kota-kota besar lainnya di dunia.
“Akan hilang sia-sia kesempatan untuk melakukan peremajaan dan revitalisasi kota. Padahal, peremajaan merupakan praktik penting demi menciptakan kawasan-kawasan layak hidup berkualitas, serta membawa kota-kota kita sejajar dengan kota-kota mega di dunia,” jelasnya.
Bernardus melihat penerapan konsep TOD saat ini merupakan bisnis untuk menyediakan angkutan massal berupa kereta yang dilengkapi dengan fasilitas komersial di setiap stasiun.
Padahal, keuntungan dari komersialisasi itu tidak harus didapat dari semua stasiun. Hal itu tergantung dari kondisi serta jumlah orang yang datang dan pergi dari stasiun tersebut.
Sekarang ini hanya sekadar usaha penyelenggaraan layanan transportasi massal untuk mendapatkan non-farebox income yang seolah-olah bisa dilakukan di tiap titik stasiun.
"Padahal, dari pengalaman banyak negara, tidak semua titik transit bisa jadi vibrant dan punya nilai komersial yang sama,” ungkap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.