KOMPAS.com - Di seluruh dunia ada sekitar satu miliar orang yang hidup di lingkungan sesak dan kumuh. Pernyataan ini berdasarkan hasil penelitian yang dipublikasikan oleh jurnal Science Advances.
Para peneliti yang berasal dari beberapa institusi (Oak Ridge National Laboratory, Santa Fe Institute, Sam Houston State University, dan University of Chicago) percaya bahwa situasi ini akan semakin memburuk pada masa mendatang.
Sementara menurut laporan UN Habitat, ada sekitar tiga miliar orang yang akan hidup di lingkungan kumuh pada 2050 mendatang. Keadaan ini bakal menjadi nyata jika tidak segera ditangani.
Algoritma matematika digunakan untuk meneliti perbedaan antara lingkungan kumuh dan terencana. Penelitian ini menggunakan gambar yang diambil dari citra satelit serta data langsung dari pemerintah.
Penelitian berfokus pada lingkungan yang tidak memiliki cukup ruang untuk menyediakan jalan, saluran pembuangan, dan layanan penting lainnya.
Hasilnya, penggunaan lahan yang tidak direncanakan membuat lingkungan atau perumahan menjadi tidak layak. Selain itu, lingkungan yang dibangun tanpa perencanaan matang ini juga tidak memiliki alamat yang jelas.
Beberapa bahkan tidak dapat dilalui oleh berbagai jenis kendaraan, termasuk ambulans dan mobil pemadam kebakaran.
Selain itu, lingkungan ini juga tidak memiliki akses langsung ke infratruktur kota, sehingga mengakibatkan mereka tertinggal dibanding dengan area lainnya.
Lebih lanjut, para peneliti juga mengusulkan metode untuk menciptakan akses ke sumber daya di daerah kumuh.
Tim peneliti kemudian berfokus pada penelitian wilayah perkotaan dari sudut pandang topologi. Dalam matematika, topologi merupakan kajian mengenai bentuk geometris dan hubungan antar-ruang, yang tidak terpengaruh meski berubah ukuran dan bentuknya.
"Ketika dihubungkan dengan keadaan perkotaan, metode ini memungkinkan para peneliti untuk menggambarkan konektivitas sebagai salah satu hubungan spasial antara jalanan atau jaringan infrastruktur serta gedung dan tempat umum," tulis salah satu peneliti dalam laporannya.
Untuk memastikan adanya hubungan antara topologi kota dengan pembangunan lingkungan, tim peneliti membagi hal-hal dalam wilayah perkotaan menjadi dua kategori.
Kategori pertama adalah ketersediaan akses seperti jalan dan jalur yang menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lain. Kedua adalah tempat, termasuk bangunan dan ruang terbuka.
Karena sistem dan akses menjangkau keseluruhan kota, tim peneliti kemudian mengurai peta kawasan kota dalam satu gambar balok yang saling terhubung.
Dalam ilustrasi ini setiap bagian kota terhubung. Peneliti menemukan bahwa setiap titik yang tergambar dalam peta tersebut dapat diakses dari setiap titik tertentu. Namun setiap titik yang saling terkoneksi ini memiliki batas, yakni gedung awal dan batas kota.