JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak orang berpendapat bahwa tinggal di apartemen lebih nyaman dan praktis dibanding tinggal di rumah tapak.
Biasanya opini itu datang dari orang yang sudah biasa hidup di wilayah kota sehingga membutuhkan hunian yang mendukung gaya hidupnya.
Namun, tinggal di apartemen ternyata tidak sepenuhnya sesuai harapan penghuninya karena tidak jarang muncul berbagai masalah yang sebelumnya tidak pernah diprediksi.
Masalah itu bisa muncul dari unit apartemen yang ditempati, bisa juga dari lingkungan apartemen di sekitarnya.
Mulai dari masalah keamanan, kebersihan, parkir, fasilitas, dan lain-lain. Semuanya itu berbaur dan terjadi setiap hari.
Shierine, seorang warga Jakarta yang memilih tinggal di apartemen, pernah terkejut ketika harus membayar service charge atau biaya perawatan saat awal tinggal di apartemen.
Namun, seiring waktu berjalan, tagihan biaya perawatan tersebut sudah menjadi hal rutin yang harus dia bayar per enam bulan.
Di unit yang berada di lantai 15 itu tersedia satu kamar mandi serta ruang tamu yang langsung tersambung dengan dapur.
Ada berbagai fasilitas yang bisa dinikmati bersama oleh para penghuni apartemen itu, yakni kolam renang, pusat kebugaran, lapangan basket, taman terbuka, dan playground atau arena bermain anak.
Untuk perawatannya, dia dipungut biaya Rp 3 juta per enam bulan, sesuai ukuran unit apartemen yang ditempatinya.
Pembayaran yang dilakukan melalui virtual account di salah satu bank swassata nasional itu berlaku untuk biaya keamanan dan kebersihan lingkungan.
Sedangkan untuk air dan listrik, tagihannya dijadikan satu dan besarannya tergantung penggunaan masing-masing.
Akan tetapi, meski penghuni sudah membayar iuran bukan berarti tidak ada masalah dalam perparkiran. Problem yang paling sering terjadi adalah jumlah kendaraan, terutama mobil, melebihi kapasitas area parkir.
Menurut dia, hal itu terjadi karena pihak pengelola apartemen tidak membuat aturan tentang jatah parkir bagi para penghuni apartemen.
“Jadi kalau malam itu nightmare, rebutan parkir. Kadang-kadang sampai parkir paralel. Buat orang yang besok paginya mau keluar jadi agak repot,” ucap Shierine saat berbincang dengan Kompas.com di kantornya, Jumat (27/7/2018).
Dia menjelaskan, kapasitas area parkir yang terbatas itu karena fasilitas serupa yang tersedia di dua lantai basement digunakan oleh para penghuni dari empat menara Apartemen Green Bay Pluit.
Selain kapasitas parkir terbatas, penghuni juga harus siap menanggung risiko lainnya, seperti soal kerusakan kendaraan ataupun keamanannya.
“Kalau mobil kecoret, itu juga risiko. Petugas keamanan cuma satu orang untuk satu menara, jadi enggak bisa lihat semua,” tutur perempuan yang berasal dari Jawa Timur itu.
Masalah lain yang berhubungan dengan kendaraan yaitu transportasi. Dia mengaku agak susah untuk menggunakan transportasi umum dari kompleks apartemen yang ditinggalinya.
Mobil itu pun hanya tersedia pada hari Senin sampai Jumat, mulai pukul 10.00 pagi sampai 21.00 WIB. Frekuensi keberangkatannya pun cuma setiap satu jam sekali.
“Jadi untuk orang yang harus berangkat kerja pagi enggak bisa naik shuttle, harus naik kendaraan pribadi atau angkutan umum lain,” imbuhnya.
Problem lain yang kadang timbul yakni seputar kehidupan bertetangga antar-unit apartemen.
Contoh kecil, bau masakan tetangga unit di depan atau sebelahnya tercium. Itu karena si tetangga membuka pintu depannya sehingga bau makanan yang dimasaknya tersebar ke mana-mana.
Begitu juga soal sampah. Tanggung jawab untuk membuang sampah itu diserahkan kepada penghuni masing-masing unit. Mereka bisa membuangnya di area khusus yang disediakan di ujung lorong setiap lantai.
“Kami tinggal bareng, ada satu tempat sampah di tiap lantai. Kalau ada yang habis buang sampah trus pintunya enggak ditutup itu, lorongnya jadi bau,” ungkap Shierine.
Masalah dengan tetangga yang tidak jarang cukup mengganggu yakni soal keributan.
Layaknya permukiman yang ditinggali oleh berbagai kelompok umur, ada yang mempunyai anak kecil lalu bermain dan teriak-teriak di lorong apartemen.
Bising
Kadang teriakan itu terdengar kencang sehingga mengganggu para penghuni di lantai tersebut.
Hal lain lagi soal polusi suara muncul apabila ada orang yang baru pindah, lalu merenovasi unit apartemennya.
Selain itu, ada pula penghuni yang menyetel musik dengan volume suara tinggi sampai terdengar ke seluruh lantai.
“Ada yang ngebor. Walaupun selisih beberapa unit juga masih kedengaran. Ada juga yang hobinya nyetel lagu Andrea Bocelli, tapi enggak tahu di sebelah mana,” tambahnya.
Sebagai tindak lanjutnya, dia melaporkan hal itu kepada pengelola apartemen dan diharapkan pihak pengelola yang mengingatkan kepada penghuni yang dianggap menimbulkan masalah itu.
Lebih praktis
Kendati ada sejumlah masalah yang dialaminya, menurut Shierine, tinggal di apartemen tetap memiliki keunggulan dibanding rumah tapak.
Salah satunya yaitu kepraktisan yang menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari. Di lantai dasar apartemennya, berbagai keperluan tersedia relatif lengkap.
“Mau makanan, laundry, minimarket, atau salon, semua ada di bawah. Lumayan lengkap. Laundry juga bisa diantar ke atas. Jadi praktis banget,” ujarnya dengan bersemangat.
Mereka diberi kartu akses oleh pengelola sehingga bisa mengantar langsung makanan yang dibeli ke unit apartemen yang memesan.
Selain itu, sejumlah fasilitas bersama yang disebutkan di atas, bagi Shierine, juga menjadi keunggulan yang membuatnya betah tinggal di apartemen.
Sebab, semua fasilitas itu dijaga dan dirawat dengan baik oleh pengelola sesuai dengan biaya bulanan yang sudah disetor oleh para penghuni setiap bulannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.