KOMPAS.com - Perumnas sebagai perintis rumah murah di Indonesia telah melalui perjalanan panjang hingga hari ini.
Tonggak awal lahirnya Perumnas di Indonesia diawali dari Kongres Perumahan Rakyat Sehat pada Agustus 1950 di Bandung.
Melalui SK Presiden Nomor 05 Tahun 1952, pada tanggal 25 April 1952, dibentuklah Djawatan Perumahan Rakyat di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga.
Tugas pokoknya antara lain membuat konsep kebijakan perumahan dan mengatur penyelenggaraa pembiayaan pembangunan perumahan.
Sebelumnya, pada tanggal 20 Maret 1951 dibentuklah Badan Pembantu Perumahan Rakyat yang berhasil menyusun Peraturan Pembiayaan Pembangunan Perumahan Rakyat.
Kemudian dibentuklah Yayasan Kas Pembangunan (YKP). Hingga tahun 1961, yayasan ini mampu membangun 12.460 unit rumah.
Namun karena kesulitan keuangan akhirnya lahirlah Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (LPMB) di Bandung, yang sekaligus berfungsi sebagai Pusat Perumahan Regional PBB (RHC).
Karena kebutuhan rumah yang semakin besar, kemudian disepakati adanya pembentukan badan lain yang bertugas memberi pengarahan secara menyeluruh, agar program perumahan segera tercapai.
Pada tahun 1974 kemudian dibentuklah Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN). Badan ini berfungsi merumuskan garis-garis kebijaksanaan dan petujuk pelakanaan bidang pengembangan dan pembinaan perumahan di samping koordinasi dan pengawasan.
Bank Tabungan Negara (BTN) kemudian ditunjuk sebagai Bank Hipotik Perumahan. Dengan posisinya itu, BTN bisa memberikan KPR kepada para peminat rumah dengan suku bunga yang disubsidi.
Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) baru berdiri pada tanggal 18 Juli 1974, dengan Ir Radinal Moochtar sebagai Direktur Utamanya. Pembiayaan bersumber dari Penyertaan Modal Pemerintah (PMP).
Pada waktu itu, pembangunan masih dipusatkan di sekitar Jabodetabek.
Kegiatan pembangunan Perum Perumnas baru dimulai pada tahun kedua Pelita II. Sasarannya adalah masyarakat kota, dengan presentasi 80 persen keluarga berpenghasilan rendah, 15 persen keluarga menengah, dan 5 persen yang berpenghasilan tinggi.
Untuk memenuhi pemerataan pembangunan, Perumnas kemudian menetapkan kebijaksanaan untuk membangun di 77 kota.