KOMPAS.com - Rumah Jawa mencerminkan status sosial keluarga penghuninya. Bagi masyarakat Jawa rumah merupakan tempat untuk menampilkan kreasi dan seni.
Seni bangunannya telah melewati beberapa zaman, seperti zaman Mataram-Hindu, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, Pajang dan berakhir pada zaman Keraton Surakarta dan Yogyakarta.
Harian Kompas, 17 Juli 1983 menyebutkan, untuk mendirikan sebuah rumah, meski rumah tersebut kecil dan sederhana, masyarakat Jawa akan memikirkan soal letak tanah.
Dulu, dalam kepercayaan Jawa, masyarakat selalu membuat kamar dengan jumlah ganjil. Sebab jika kamar berjumlah genap, akan mendatangkan malapetaka. Namun kini kepercayaan tersebut perlahan sudah mulai terkikis.
Bangunan tradisional Jawa memiliki banyak ragam, mulai dari yang paling sederhana hingga bangunan yang tergolong mewah, yakni Panggangpe, Kampung, Limasan, Joglo, dan Tajug.
Rumah Panggangpe
Merupakan bentuk rumah paling sederhana, bahkan bisa dibilang yang paling rendah. Bangunan terdiri dari denah bujur sangkar atau persegi empat. Tiang penyangga bisa empat, enam, delapan, bahkan bisa lebih dari itu.
Untuk atap rumah terdiri dari satu sisi yang letaknya dibuat miring. Namun pada masa mendatang, rumah model ini bisa dikembangkan dengan menambah ukuran panjang atau lebar rumah.
Karena itu bentuk panggangpe bisa menjadi panggangpe trajumu, gedang salirang, gedung setangkep, cere gancet, kios, empyak setangkep, kodokat.
Bentuk rumah panggangpe bisa diperluas dan diberi penambahan. Model rumah ini masih bisa disaksikan di penginapan, pabrik, pasar, dan lain sebagainya.
Bentuk Kampung
Bentuk rumah rakyat yang paling sering dijumpai karena harganya yang terjangkau dan juga irit bahan.
Rumah ini terdiri dari bujur sangkar bersegi empat dengan tiang berjumlah empat, enam, delapan, atau bisa lebih.
Seperti rumah model panggangpe, rumah model kampung juga memiliki kamar dengan jumlah ganjil.
Atapnya sendiri memiliki dua sisi, sebelah menyebelah, sehingga membentuk hubungan. Pada kiri dan kanannya disebut tutup keyong.