NGAWI, KOMPAS.com — Mudik merupakan perjalanan spiritual menuju perwujudan ideologi keagamaan bernama Lebaran, atau hari kemenangan setelah sebulan menahan segala macam godaan.
Oleh karena itulah, mudik senantiasa disambut antusias dengan semangat sukacita untuk berbagi kebahagiaan dengan saudara dan handai taulan.
Untuk perhelatan mudik tahun 2018 ini, Tim Merapah Trans-Jawa Kompas.com kembali melakukan upaya jurnalistik melalui format multimedia berupa artikel, foto, dan video.
Kami menyajikan beragam informasi terlengkap, akurat, dan tepercaya sebagai panduan mudik bagi pembaca.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, reportase perjalanan mudik kali ini terasa lebih istimewa, intim dengan keinginan pembaca serta, ini yang penting, lebih asyik.
"Dibawa enjoy aja. Tak perlu buru-buru. Nikmati perjalanan. Karena esensi mudik sejatinya adalah kehadiran, dan pengakuan bahwa berkumpul dengan keluarga merupakan hadiah yang tak tergantikan."
Mafhum saja bila masyarakat rela selama berjam-jam menempuh perjalanan panjang, meski untuk itu harus mengeluarkan sejumlah dana, semangat luar biasa, serta kesabaran ekstra.
Sejak mengawali perjalanan pada Sabtu (2/6/2018), Tim Merapah Trans-Jawa tiba di titik akhir Tol Trans-Jawa yakni lokasi bakal calon Tol Probolinggo-Banyuwangi, Jawa Timur, pada Kamis (7/6/2018).
Tak hanya melintasi 15 ruas tol yang menjadi bagian dari Jalan Tol Trans-Jawa, kami juga memanfaatkan jalan nasional pantai utara Jawa (Pantura), dan sisa perjalanan akan ditempuh dengan menikmati keindahan alam di sepanjang jalan pantai selatan Jawa atau Pansela.
"Mudik itu asyik," demikian Alsadad Rudi, salah seorang kru Merapah Trans-Jawa Kompas.com.
Mudik asyik tak berhenti pada slogan. Kami betul-betul berusaha menciptakan antitesa bahwa mudik tak selalu identik dengan kemacetan dan penderitaan.
Mudik cara kami adalah perjalanan ke kawasan-kawasan yang diakui sebagai kampung halaman. Kami mengeksplorasi keunikan, dan kelangkaan di antara banyaknya unsur perbedaan. Namun demikian, hal inilah yang menjadikannya istimewa dan di luar kebiasaan.
Siapa sangka kami mendapati menu Sambal Wader yang ternyata sudah demikian langka. Konon, menu ini akrab dengan kehidupan masyarakat Jawa di bawah kepemimpinan Kerajaan Majapahit.
Kami juga menemukan menu khas Ngawi bertajuk Tahu Tepo yang sejatinya serumpun dengan Tahu Telor Lamongan.
Perjalanan tak terasa melelahkan saat kami mengudap Lontong Kupang di Pasuruan sebagai menu kala adzan berkumandang ditingkahi romantisnya lembayung senja di tapal barat jalan bebas hambatan Gempol-Pasuruan.