JAKARTA, KOMPAS.com – Ekspansi bisnis e-commerce diyakini menjadi salah satu penyebab lesunya bisnis ritel konvensional, khususnya di bidang fashion. Beberapa ritel fashion tradisional dengan merek luar negeri pun bersiap untuk hengkang dari Tanah Air.
Salah satu ritel fashion yang telah hengkang yaitu New Look. PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAP) selaku pemasok brand fashion asal Inggris itu bahkan memastikan seluruh gerai New Look di Indonesia sudah tutup.
“Untuk New Look sudah tutup semua tokonya. Sudah tahun lalu, alasannya karena part of the restructuring initiative untuk melakukan brand rationalization,” kata Head of Corporate Communication MAP Fetty Kwartati kepada Kompas.com, Kamis (5/4/2018).
Sebagai informasi, MAP diketahui mengoperasikan 12 gerai New Look di sejumlah pusat perbelanjaan paling happening di Jakarta dan beberapa wilayah di Indonesia, seperti Mal Kota Kasablanka, Senayan City, Pondok Indah Mall dan Mal Central Park.
Tak hanya di Indonesia, di negara asalnya pun bisnis New Look terseok-seok. Bahkan, manajemen New Look harus mengambil langkah getir, yaitu menutup sejumlah gerainya setelah penjualannya tak lagi bergairah.
Untuk diketahui, CVA lazim digunakan peritel yang terancam bangkrut untuk mengurangi biaya sewa dengan pemilik pusat belanja.
“CVA adalah sebuah opsi kuat bagi kami,” ungkap McGeorge, seperti dilansir The Guardian, Rabu (7/2/2018).
Saat ini, New Look memiliki 594 toko di seluruh Inggris. Sebanyak 60 toko berpotensi gulung tikar.
Penjualan New Look selama 39 pekan hingga 23 Desember 2017 anjlok 6,3 persen menjadi 1,1 miliar Poundsterling. Peritel itu mesti menanggung rugi hingga 123,5 juta Poundsterling.
E-commerce Bersinar
Riset Colliers International Indonesia pada kuartal I-2018 menunjukkan, secara umum performa bisnis ritel di Jakarta cenderung flat. Setelah sempat turun 2,3 persen pada 2017, tingkat okupansi ritel di Jakarta masih di kisaran 83,5 persen.
Selain New Look, ada beberapa ritel fashion luar negeri yang juga akan menutup gerainya pada tahun ini yaitu Gap, Banana Republik, dan Clarks. Salah satu faktor pendorong lesunya bisnis ritel tradisional yaitu ekspansi e-commerce.
Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto mengatakan, pusat perbelanjaan atau mal yang paling merasakan dampak ekspansi tersebut adalah kelas menengah ke bawah.
“Sebenarnya pengaruh itu sudah mulai kelihatan sejak tahun lalu. Seperti Matahari, Debenhams, mulai tutup,” kata Ferry di Jakarta, Rabu (4/4/2018).
Peningkatan bisnis e-commerce ini juga sejalan tingkat okupansi mereka di perkantoran di kawasan pusat niaga atau central business district (CBD) Jakarta.
Dibandingkan bisnis lain, sektor e-commerce dinilai paling agresif dalam melakukan ekspansi perkantoran di kawasan CBD.
“Kalau lihat di 2018 ini, kita prediksi lebih banyak akibat ditopang ekspansi industri e-commerce,” kata Ferry.
Director Head of Research and Consultant Savills Indonesia Anton Sitorus juga menyampaikan pendapat serupa.
Meski para developer harus terus berjuang untuk bersaing dengan pengembang lain dalam memasarkan perkantoran mereka, namun ia melihat, bahwa bisnis e-commerce merupakan segmen paling potensial untuk disasar para pengembang tersebut.
Sebelumnya, ia mengatakan, kawasan CBD dikenal sebagai koridor perkantoran untuk lini bisnis perbankan, jasa keuangan, oil and gas, serta perdagangan besar. Baik itu perusahaan skala nasional maupun multinasional.
“Ada satu hal yang cukup menolong. Dengan perkembangan e-commerce, mereka mulai menjadi peritel baru di gedung-gedung baru tersebut," kata Anton.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.