Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebelum Menggeluti Bisnis Properti, BUMN Harus Perhatikan Hal Ini

Kompas.com - 15/03/2018, 21:48 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Perusahaan pelat merah yang ingin mengembangkan sektor properti, harus memastikan lahan yang akan dikembangkan tidak memiliki persoalan. Ini penting agar di kemudian hari tidak timbul polemik yang justru merugikan negara.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Pengadaan Tanah Kementerian ATR/BPN Arie Yuriwin saat menjadi pembicara pada seminar Kebijakan dan Regulasi Pembebasan Lahan Proyek Properti di Kantor PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Kamis (15/3/2018).

Salah satu persoalan yang menjadi perhatian Arie yakni masalah sertifikat tanah. Misalnya, bisa jadi tanah yang hendak dibeli riwayat perolehannya tidak jelas atau tidak ada dokumen pendukung yang lengkap.

Persoalan lain yakni dokumen kepemilikan aset tidak lengkap, aset masih bersengketa, atau aset tidak produktif.

“Kalau beli dengan girik, itu juga harus dicek lagi,” tegas Arie.

Arie menyarankan BUMN yang ingin membeli aset tanah untuk properti menggandeng Badan Pertanahan Daerah.

Hal tersebut untuk meneliti apakah tanah yang hendak dibeli sudah sesuai dengan kaidah peruntukkan tata ruang atau belum, serta kontur tanahnya sesuai atau tidak.

“Kalau BUMN ingin membeli tanah beda dengan BUMN pengadaan tanah untuk infrastruktur. Itu dengan penentuan lokasi (Penlok). Kalau untuk pembebasan properti maka perlu izin lokasi. Sepanjang itu penggunaannya komersil, itu perlu izin lokasi,” tutur Arie.

Lebih jauh, Arie mengatakan, ada beberapa poin hukum yang mendasari kepemilikan aset BUMN, yaitu UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan PP No 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN.

Selain itu juga Perpres No. 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara dan Permen BUMN No Per. 2/MBU/2010 jo Per. 06/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap BUMN.

Sementara itu, Ketua Umum IPPAT Syafran Sofyan mengatakan, masih banyaknya tanah yang belum didaftarkan tak jarang menimbulkan konflik antara pengembang dan pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Menurut dia, ada beberapa faktor yang menghambat pendaftaran tanah. Misalnya, pendaftaran terkait Has Atas Tanah (HAT) belum terkoneksi dengan baik, belum ada standarisasi yang jelas, aturan yang tumpang tindih, serta ketidakpastian harga.

Oleh karena itu, Syafran meminta para pebisnis properti harus memahami betul regulasi yang mengatur sistem pertanahan, dan dilakukan secara transparan dan akuntabel agar tidak ada sengketa yang merugikan pihak manapun dikemudian hari.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com