Apa yang terjadi di London, menurut Yoga, sebenarnya juga dapat diterapkan di Jakarta. Sebagai kawasan urban terbesar kedua di Eropa setelah Paris, jumlah penduduk London memang tidak sebanyak Jakarta.
Berdasarkan data 2016, jumlah penduduk London hanya sekitar 8,7 juta. Sementara, dari catatan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), jumlah warga Jakarta telah menembus angka 10,3 juta.
Dengan jumlah penduduk yang tinggi, memang variasi moda transportasi Jakarta belum sebanyak London. Ia pun menilai, langkah pemerintah membangun bermacam moda transportasi baru, sudah cukup tepat.
Namun yang jadi persoalan, bagaimana 'memaksa' masyarakat agar nantinya menggunakan moda transportasi itu saat telah beroperasi.
"Kita bukan lagi hidup di zaman Orba yang setiap imbauan diikuti. Jadi gimana, ya batasi saja langsung," cetus Yoga.
Di antaranya dengan membatasi penggunaan kendaraan pribadi, baik motor maupun mobil. Kebijakan ganjil genap, menurut dia, sudah cukup baik penerapannya.
Ubah Paradigma
Hal lain yang perlu ditekankan yaitu masyarakat harus mengubah paradigma mereka dalam menggunakan moda transportasi.
Selama ini, menurut Yoga, masyarakat berpandangan bahwa sepeda motor merupakan solusi untuk menembus kemacetan Ibu Kota.
Tak ayal bila pertumbuhan kendaraan roda dua pun jauh lebih cepat dibandingkan kendaraan roda empat. Pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta dan sekitarnya mencapai 12 persen per tahun.
Sampai akhir 2014, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sebanyak 17.523.967 unit, sebanyak 13.084.372 unit di antaranya merupakan kendaraan roda dua.
Namun, paradigma itu merupakan paradigma yang salah. Masyarakat seharusnya menyadari bahwa sarana transportasi publik dibangun dengan menggunakan uang rakyat yang berasal dari pungutan pajak.
Oleh karena itu, seharusnya sarana transportasi yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin.