JAKARTA, KompasProperti - Pasokan ruang perkantoran, baik di central business district (CBD) Jakarta maupun non-CBD yang melebihi permintaan, berdampak negatif terhadap harga sewa dan tingkat hunian yang terus tertekan hingga Kuartal III-2017.
Menurut riset Colliers International Indonesia, pasokan tahunan year to date 2017 saja lebih dari 600.000 meter persegi. Sekitar 75 persen di antaranya berada di CBD Jakarta.
Jika diakumulasikan, pasokan total ruang perkantoran Jakarta seluas 6 juta meter persegi hingga akhir 2017.
Pasokan ini akan terus bertambah pada tahun-tahun yang akan datang. Colliers memprediksi, tahun 2018-2020 terdapat tambahan 1,5 juta meter persegi ruang perkantoran. CBD Jakarta mendominasi dengan angka 60 persen.
Melubernya pasokan ruang perkantoran baru ini kian menekan performa tingkat hunian (occupancy rate) hingga di bawah 80 persen pada 2020 nanti.
Saat ini saja, tingkat okupansi sudah berada pada level 83,3 persen untuk perkantoran CBD Jakarta dan 83,5 persen perkantoran non-CBD. Performa ini merupakan terburuk sejak tahun 2009 lalu yang tercatat di atas 85 persen.
Senior Associate Director Research Colliers Ferry Salanto memproyeksi penurunan tingkat okupansi ini akan terus berlanjut hingga akhir 2017.
"Kami proyeksikan tingkat okupansi menjadi 78,5 persen untuk perkantoran CBD dan 83,3 persen untuk perkantoran di area non-CBD," kata Ferry.
Akibat performa negatif ini, mudah ditebak jika harga sewa pun ikut terkoreksi dan terus merosot atau terendah sejak 2014.
www.skyscrapercity.com Dua di antara tiga gedung perkantoran yang akan dirobohkan berada di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat.
Harga sewa perkantoran CBD melorot 10 persen hingga akhir tahun 2017 dengan angka rata-rata menjadi sekitar Rp 281.524 per meter persegi.
Sementara tarif sewa perkantoran di area non CBD sekitar 5 persen lebih rendah dari catatan tahun lalu menjadi rata-rata Rp 215.538 per meter persegi.
Ada pun perusahaan yang aktif menyewa ruang-ruang perkantoran baru ini adalah start up company, atau mereka yang bergerak di sektor perdagangan daring (e-commerce).
Tren relokasi masih berlanjut
Terkait tarif sewa, Director Colliers International Indonesia Bagus Adikusumo mengungkapkan, angka-angka yang dipublikasikan tidak menggambarkan fakta sebenarnya di lapangan.
Bisa jadi, harga sewa yang disepakati antara pemilik dan penyewa gedung memiliki perbedaan cukup jauh.
"Asking rental dan transacted perbedaannya cukup jauh. Yang tahu hanya pemilik gedung dan penyewa. Namun bisa dipastikan jauh lebih rendah," ujar Bagus.
Bagus melanjutkan, harga sewa gedung-gedung baru saat ini lebih kompetitif. Dia menyebut harga sewa The Plaza di kompleks Plaza Indonesia, sudah terkoreksi lebih dari tiga kali sejak dibuka perdana tiga tahun lalu.
Saat ini, harga sewa perkantoran yang masuk kategori premium ini berada pada posisi Rp 300.000 per meter persegi.
www.shutterstock.com Kawasan Monas dan perkantoran Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat
Sementara harga sewa gedung lama lebih rendah ketimbang gedung baru. Banyak pemilih gedung yang melakukan aksi banting harga, bahkan hingga Rp 150.000 per meter persegi.
Hal ini merupakan strategi pemilik gedung agar bisa mempertahankan penyewa dan menjalankan operasional gedung.
"Harga sewa rendah sebenarnya merusak investasi. Tapi mau bagaimana lagi? Kondisi belum akan membaik hingga 2021 mendatang," kata Bagus.
Akibat dari "perang tarif" ini, banyak perusahaan yang melakukan relokasi dari tempat lama ke gedung baru yang lebih canggih dengan dukungan fasilitas teknologi terbaru.
Aksi relokasi ini, kata Bagus akan terus berlangsung hingga okupansi gedung baru mencapai angka maksimal 70 persen.
Asing
Tidak semua pemilik gedung mampu mempertahankan operasionalisasinya di tengah perang tarif seperti sekarang. Beberapa di antaranya bahkan menawarkan kepada asing untuk mengembangkan dan mengelola gedung bersama-sama.
"Termasuk Wisma Sudirman baru yang dikembangkan GIC Singapura," cetus Bagus.
GIC Singapura digandeng PT Indonesia Prima Property Tbk untuk membangun Wisma Sudirman wajah baru.
Menurut CEO Leads Property Indonesia Hendra Hartono, Wisma Sudirman akan mencakup perkantoran dan kondominium kelas atas.
"Kerja sama yang terjalin adalah berskema joint venture," ujar Hendra.
Selain Wisma Sudirman, tambah Bagus, Jakarta Office Tower, dan tiga gedung lainnya juga dibangun pengembang asing. Ketiganya berada di CBD Sudirman dan CBD Thamrin.
Khusus Jakarta Office Tower, dikembangkan oleh Mori Building, raksasa properti asal Jepang. Ini merupakan proyek hasil akuisisi perdana Mori di Asia Tenggara. Rencananya, Jakarta Office Tower dibuka pada 2021 mendatang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.