TEROBOSAN dan inovasi adalah kunci untuk mencapai Nawacita pembangunan, dan dalam jangka panjang membentuk sistem perencanaan tata ruang yang lebih humanis. Menghadirkan negara dalam ruang hidup warga, meningkatkan kualitas hidup, dan membangun dari pinggiran, menjadi ruh bagi visi menata ruang kita.
Tata ruang Indonesia dalam prosesnya kerap meninggalkan dimensi kemanusiaan, karena lebih fokus pada konektivitas infrastruktur. Ini yang saya sebut sebagai dehumanisasi perencanaan, yang apabila dibiarkan akan menghasilkan ruang-ruang yang tidak layak huni karena menerobos daya dukung lingkungan (carrying capacity), delineasi ekoregion, dan optimasi ruang.
Lalu bagaimana perwujudan tata ruang ke depan?
Bagi warga, jawabannya harus mencari di antara kenyataan hidup yang semakin berat, berhadapan dengan kualitas ruang hidup, dan janji-janji politisi lokal kota setempat.
Bagi para perencana kota, ini adalah sebuah tantangan sekaligus kegeraman. Walaupun kebanyakan rekan-rekan sesama perencana saya sering memilih tidak mengekspresikan kegeramannya, namun saya yakin suasana bathin rekan-rekan saya, selalu penuh semangat ingin perwujudan ruang yang ideal di tanah air.
Padahal, bagi para perencana, konflik-konflik tersebut adalah menu sehari-hari yang harus dialami, karena begitulah profil profesi perencana.
Untuk mencari jawabnya, para perencana harus terlebih dahulu mencari baseline-nya. Di titik mana, spesifik waktu mana, kita akan menjadikan sebagai landasan perencanaan dan bagaimana mencapainya.
Proses perencanaan dan penyelenggaraan penataan dan perwujudan ruang, sudah diturunkan menjadi standar dalam pekerjaan birokrasi kita. Untuk mencapai ruang hidup yang aman, nyaman, berkeadilan dan berkelanjutan, saat ini bahkan sudah ada banyak pedoman dan panduan merencana yang bersifat "plug and play".
Dan untuk tercapainya perwujudan ruang yang kita idamkan, rezim monitoring dan evaluation diturunkan dalam satu set tata kerja sistem tata ruang yaitu peraturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan (turbinlakwas).
Urbanisasi menjadi keniscayaan yang akan dihadapi Indonesia ke depan. Kemampuan kota dalam menghadapi perubahan yang cepat, memerlukan ketajaman dan kebijakan-kebijakan kota yang mumpuni.
Bayangkan, total kemampuan APBN untuk mendanai pembangunan hanya 30 persen. Maka selebihnya, harus berasal dari pertambahan nilai di masyarakat, investasi, dan sumber-sumber pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan di level warga.
Inovasi di level kebijakan dan program daerah menjadi bagian penting dari proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang, agar kota dan kabupaten menjamin inklusif, berkeadilan dan dinamis.
Pendekatan cybernetics tata ruang
Cybernetics adalah cara berpikir sistem dengan proses umpan balik berkelanjutan. Ilmuwan seperti Jay Forrester dari MIT pada awal 1950-an, menaruh dasar-dasar sibernetika di mana perubahan pada lingkungan dan memberikan umpan kepada sistem melalui informasi (umpan balik) yang menyebabkan sistem menyesuaikan diri dengan kondisi baru ini. Perubahan pada sistem akan memengaruhi perilakunya.
Ini tentu sangat relevan dengan proses perencanaan. Perkembangan politik perencanaan di tanah air berujung pada mandeknya karya perencanaan ruang yang bisa dianggap sebagai terobosan dalam pemanfaatan ruang, maupun perubahan peruntukan ruang di Indonesia.
Satu dekade diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyisakan banyak pertanyaan. Terutama tentang kualitas produk rencana tata ruang, keterbatasan biaya perencanaan, dan miskinnya kognisi dalam dinamika 3 aspek proses merencana, yaitu teknoratis, partisipatif, dan legislatif.
Seperti tulisan saya sebelumnya, berbagai regulasi tumpang tindih, padahal mengatur hal yang sama yakni tata ruang. Sebut saja tentang Kelautan dan Perikanan dalam UU Nomor 32 Tahun 2014, UU Nomor 27 Tahun 2007, dan UU Nomor 1 Tahun 2014.
Kemudian di sektor Kehutanan ada UU Nomor 41 Tahun 1999, UU Nomor 19 Tahun 2004, di sektor Agraria dan Tata Ruang ada UUPA Nomor 5 Tahun 1960 dan UU Nomor 26 Tahun 2007, serta di Kementerian Dalam Negeri ada UU Nomor 6 Tahun 2015 dan pengaturan Otonomi Daerah UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 2 Tahun 2015.
Padahal, tren dunia perencanaan kota menunjukan keberpihakan atas keadilan sosial dan kesetaraan. Kepastian untuk menjamin semua warga mendapatkan kesempatan yang sama, serta menciptakan dorongan kota-kota yang nyaman.
Demikian pula dengan usaha inventarisasi sumberdaya dalam pengembangan pola tata ruang serta koordinasi pelaksanaan pola tata ruang sebagai dasar kebijakan pengembangan wilayah.
Tugas pembinaan pelaksanaan penataan ruang daerah dan pengembangan prosedur pengelolaan tata ruang saat ini mengalami stagnasi luar biasa. Indonesia masih tersandera oleh berbagai tumpang tindihnya pengaturan lahan baik dalam hal pendaftaran (land register) mapun peruntukan (land use).
Saat belum terlihat bagaimana strategi Indonesia mengelola perkotaannya, pentingnya linkage atau hubungan desa kota, dan bagaimana isu kota desa menjadi momentum politik pemerintah untuk menciptakan tempat hidup yang aman, nyaman dan berkelanjutan.
Komitmen pemerintah Indonesia perlu diperjelas di dalam menyelenggarakan manajemen perkotaan dan pedesaan kita. Sampai saat ini, belum terlihat langkah-langkah nyata dari pemerintah saat ini berkaitan dengan agenda perkotaan, tata ruang maupun desa yang dikaitkan dengan visi 5-1,000 tahun ke depan.
Kita juga menantikan pemerintah secara eksplisit memasukkan agenda carrying capacity, pengentasan kemiskinan, pengurangan kawasan kumuh, penyediaan air bersih kepada masyarakat, maupun penyediaan perumahan rakyat.
Tata ruang adalah bidang yang mengkoordinasi semua sektor. Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, maka seharusnya perizinan satu atap di daerah harus nya tata ruang sebagai leading sector-nya.
Selamat bekerja para perencana kota!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.