SEBUAH rumah dibeli pada 2007 seharga kurang dari Rp 200 juta. Sepuluh tahun berlalu, harga rumah yang sama melejit 8 kali harga semula, jadi kisaran Rp 1,5 miliar.
Ini cerita dan angka nyata. Sudah "harga teman", bahkan. Luas tanah jelas tak berubah. Bangunan pun masih asli dari developer. Lupakan analisis krisis moneter, karena cerita ini bermula dari masa 10 tahun sesudahnya.
Lokasi rumah itu di kawasan di sisi timur wilayah Jakarta, yang akses terbaiknya cuma jalan tol. Iming-imingnya sejak dulu kala hanya akses kereta cepat, yang baru belakangan ini mulai mewujud nyata. Hal itu pun berakhir di pengkolan beberapa kilometer sebelum perumahan.
Kasus kedua, lain lagi ceritanya. Kali ini dari perbatasan selatan Jakarta. Di sini mulai ada tawaran yang juga bikin keselek meskipun tidak sedang terburu-buru makan.
Demi mengincar generasi milenial kinyis-kinyis, dibuka penawaran kredit rumah dengan uang muka tak sampai Rp 20 juta. Luas tanahnya kecil saja, 60 meter persegi. Namun, kreditnya dibikin bisa sampai 30 tahun.
Segmen yang diincar adalah lulusan kuliah yang baru kerja pertama dengan gaji di kisaran Rp 5 juta sampai Rp 10 juta. Juga, kelompok kelas menengah dan usia produktif yang memiliki gaji di kisaran angka itu.
Itu harga rumah bakal melejit gila-gilaan pada akhirnya. Andalan sumber pembiayaannya pun kemungkinan besar adalah kredit bank.
Praktiknya tetap saja cicilan per bulan hampir Rp 7 juta meski tenor kredit sudah 30 tahun. Luas tanah sama, 60 meter saja. Harga jual sebelum hitungan KPR Rp 900 juta.
Simplifikasinya, hitung saja pakai angka cicilan terkecil dan tenor terpanjang, Rp 7 juta x 12 bulan x 30 tahun, ketemu sudah Rp 2,1 miliar.
Kalau pakai kredit bank konvensional yang hitungannya bayar bunga dulu di tahun-tahun awal kredit dan utang pokoknya baru berkurang belakangan, tetap saja total yang dibayar tak akan jauh dari angka Rp 2 miliar.
(Baca juga: Kelas Menengah Tanggung dan Lingkaran Setan Dilema soal Rumah...)
Nah, kira-kira, 30 tahun nanti pas sudah rampung itu kredit. Harga rumah tersebut akan berapa, merujuk contoh kasus pertama? Ada iming-iming ketersediaan jalur kereta api.
Ini belum membahas aturan bank sentral yang mematok kredit untuk pembelian rumah pertama harus menyertakan uang muka minimal 15 persen. Masa pengembang perumahan sebegitu beraninya sekarang melanggar aturan demi jualan lancar?
Belum juga dibahas batas maksimal cicilan per bulan, catatan kelancaran pembayaran kredit selama ini (BI checking), apalagi survei kelayakan pemberian kredit dari bank yang menentukan maksimal duit kredit yang bisa ngucur.
Di mana negara?
Praktik serupa kedua contoh di atas bisa jadi juga biasa terjadi di semua wilayah di Indonesia. Skalanya saja yang mungkin beda.
(Baca juga: Kelas Menengah, Penggerak Utama Pasar Properti Indonesia)
Pertanyaannya, di mana negara? Di mana pemerintah?
Bukankah papan adalah hak dasar yang derajatnya sama dengan pangan dan sandang?
Ada beras dibeli lebih mahal dari petani, diolah dan dikemas sedemikian rupa lalu dijual dengan harga yang dianggap mahal, negara lewat kepolisian langsung bikin tindakan. Macam-macam alasannya dikemukakan sampai muncul pro dan kontra.
Nah ini, pemodal punya duit besar borong tanah murah di daerah pinggiran, modal informasi rencana pemerintah soal pembangunan infrastruktur, lalu di situ dibangun perumahan dengan hitungan harga tanahnya berlipat-lipat kali harga beli. Pemerintah diam saja? Negara diam saja?
Tak ada batasan luas pembelian dan penguasaan lahan, tak ada ketentuan harga yang layak jadi rujukan nyata, dan tak peduli banyak orang akan terjebak masalah rente massal dan bersambung lintas-masa.
Sudah begitu, duit pemodal perumahannya pun bisa jadi didapat dari kredit bank juga.
Mungkin perumahan posisinya sekarang sama dengan air. Iya, air yang "cuma" disedot dari mata air di dalam tanah, lalu konon diolah yang kemudian dikemas, ditempeli merek, dan jadi berbanderol harga sesuai hitungan pemilik merek.
Mungkin, yang penting administrasi perusahaan beres, bayar pajak, pasang iklan, pakai warga setempat jadi pegawai meski buat level rendahan. Ekonomi terlihat bergerak, bukan?
Masalah sumber air itu aslinya tak cuma ada di bawah lahan pemilik merek serta seperti apa imbas penyedotan besar-besaran terhadap masa depan sumber tersebut, masyarakat, dan lingkungan hidup, otoritas seolah tutup mata.
Konstitusi berasa basi
Kalau melihat semua ini, bisa jadi konstitusi memang sudah basi dalam praktik dan kenyataan. Soalnya, di antara yang selalu selamat dalam empat kali amandemen UUD 1945 adalah tiga ayat dari Pasal 33, meski pasal tersebut lalu jadi lima ayat.
Ayat (3) dari pasal tersebut jelas-jelas berbunyi "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Tak usah heran juga karenanya bila nanti mendapati orang kaya makin kaya, kelas menengah makin gepeng terjepit dari atas dan bawah, sementara kelas bawah hanya bisa makin menggelepar tak berdaya di lingkaran kemiskinan.
Mimpi masyarakat adil dan sejahtera setelah melewati gerbang kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sepertinya bakal masih jauh di awang-awang untuk jadi kenyataan. Mimpi punya rumah saja sudah berat di pengajuan pembiayaan dan cicilan bulanan.
Kecuali, tentu saja, perubahan mau dimulai dan terjadi lebih cepat menuju perbaikan dan kebaikan bersama demi sebesar-besar manfaat.
Tak perlu juga, kelas menengah Indonesia kehilangan rumah cicilannya gara-gara kredit bank diakal-akali demi jualan, baik jualan rumah maupun target kucuran kredit, seperti terjadi di Amerika Serikat pada kisaran 2008.
Namun, bisakah hal ini diwujudkan? Ataukah makin lama punya rumah layak bakal jadi mimpi muluk tak akan terbeli karena mekanisme pasar yang berjalan sekarang?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.