Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bernardus Djonoputro
Ketua Majelis Kode Etik, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Bernardus adalah praktisi pembiayaan infrastruktur dan perencanaan kota. Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah, dan saat ini menjabat Advisor Senior disalah satu firma konsultan terbesar di dunia. Juga duduk sebagai anggota Advisory Board di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung ( SAPPK ITB).

Selain itu juga aktif sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salzburg Austria. Bernardus adalah Penasehat Bidang Perdagangan di Kedubes New Zealand Trade & Enterprise.

Pengganti Jakarta, Kota Baru Tiga Dimensi?

Kompas.com - 24/07/2017, 08:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHilda B Alexander

Kembali, para politisi dan birokrat membuat bingung masyarakat dengan keinginan punya ibu kota baru. Bukan saja masyarakat yang dibuat bingung, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tampak risau dan galau untuk mempunyai kota yang memanusiakan warga atau istilah lainnya, layak huni.

Karena ternyata, perkembangan yang terjadi kelihatannya semakin jauh dari yang diprioritaskan pemerintah. Atau bisa jadi, mereka bingung harus mulai dari mana?

Diawali dari perintah Presiden, Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, saat itu langsung mengumumkan isu 100 kota baru.

Di lingkungan birokrasi, dibuatlah perintah menyusun 10 kota baru, dimulai dengan pembuatan 3 master plan atau rancangan induk kota baru.

Namun ternyata, niat tinggal niat, belum satu pun dokumen rencana tersebut terwujud. Bahkan dimulai pun belum.

Kini, tinggal satu isu kota, ibu kota baru. Entah benar atau hanya pengalihan isu, pada kenyataannya, kita menyaksikan kegamangan dalam merencana. Dari 100 kota baru, turun menjadi 10, kemudian turun lagi jadi 3, dan kini tinggal 1 kota yakni ibu kota baru!

Sambil kita menikmati parodi isu tersebut, masalah perkotaan terus berkembang pesat, dan demikian dinamis. Jadi, sudah bukan saatnya lagi kita melihat permasalahan kota secara linier.

Warga kota sebagai subyek utama, terus tumbuh. Namun kini ada fenomena yang niscaya akan mengubah pandangan kita tentang warga kota. Fenomena kewarganegaraan ini adalah “netcitizen”.

Sebagai bagian tak terpisahkan dari ruang kota, netcitizen secara perhitungan angka, melipatgandakan jumlah warga sebuah entitas kota.

Profil kependudukan netcitizen ini bila digambarkan, akan berbentuk piramida sempurna dengan puncak tipis diisi kaum gaptek (gagap teknologi) alias renta secara kemampuan aplikatif teknologi.

Bayangkan saja, kaum ini adalah kelompok masyarakat yang lemah dan sulit memilih teknologi gawai pintar masing-masing. Kaum ini masih mengagumi begitu banyaknya mesin ATM di pelosok kota sebagai kemajuan sistem perbankan, padahal sekarang perbankan mulai berpikir ulang tentang konsep ATM.

Jakarta Skyline.worldpropertychannel.com Jakarta Skyline.
Di dasar dan tengah piramida gemuk dengan golongan masyarakat milenial. Kaum yang satu ini, fasih, kaya dan berkuasa atas teknologi maya, terus bergerak mengikuti perkembangan dunia detik per detik, dan mendedikasikan dirinya untuk menguasai informasi.

Kaum ini berselancar dalam dunia internet-of-things dan cenderung sudah tidak lagi memakai ATM fisik untuk bertransaksi, dan mereka cenderung tidak mengerti kenapa perlu begitu banyak ATM yang disebarkan untuk memenuhi pelayanan.

Bagi mereka, pelayanan teritorial dalam konteks wilayah pelayanan baik di kota maupun pedesaan seperti ini adalah pemborosan. Kaum ini mendunia melalui dua jempol di laya sentuh.

Tiga Dimensi?

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau