Istilah transit oriented development atau biasa disebut TOD mulai sering kita temui di media massa maupun iklan-iklan properti terutama di kawasan Jadebotabek. Masyarakat awam dan bahkan mungkin sebagian unsur pemerintahan kita sebenarnya belum paham apa arti TOD ini.
TOD sendiri sebenarnya merupakan penyebutan pertama kali dibakukan oleh Peter Calthrope pada akhir 1980-an untuk sebuah konsep pengembangan kawasan yang kemudian dikenal bercirikan kepadatan tinggi, bersifat multi-kegiatan, dan mendorong pergerakan internal dengan berjalan kaki ataupun kendaraan tidak bermotor.
Tak hanya itu, konsep ini juga mengutamakan angkutan umum sebagai moda utama pergerakan baik di dalam maupun luar kawasan TOD guna mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi.
Konsep TOD ini sebenarnya muncul di berbagai kawasan dunia dengan istilah yang berbeda-beda. Terlepas dari perbedaan penyebutan ini sesungguhnya semua memiliki konsep besar yang sama seperti tersebut di atas.
Aspek terpenting dari TOD adalah integrasi antara properti dengan transportasi umum. Harus kita akui bersama bahwa selama ini pengembangan properti besar di Indonesia banyak mengandalkan jalan tol dan jalan raya dengan moda kendaraan pribadi terutama mobil sebagai pemanis untuk meningkatkan nilai jual.
Sudah jamak kita mendengar terutama pada periode sebelum 2014, ketika pengembang berbicara aksesibilitas kawasan pengembangan perumahan, yang digunakan sebagai patokan adalah waktu tempuh via jalan tol atau jalan raya.
Kondisi di atas mungkin masih menarik ketika volume kendaraan di Indonesia terutama di Jadebotabek masih dapat diakomodasi oleh infrastruktur jalan yang ada. Seiring waktu dan pertumbuhan volume lalu lintas yang sudah pasti tidak akan pernah dapat diimbangi oleh pertumbuhan jalan, terutama karena faktor ketersediaan lahan dan pendanaan, maka kemacetan menjadi hal yang tidak terelakkan.
Perjalanan dengan kendaraan pribadi yang dianggap sebagai perbaikan kelas sosial menjadi semacam ujian rutin yang harus terus menerus dihadapi. Tawaran properti dengan iming-iming akses tol, dan jalan raya yang bisa dinagkau kendaraan pribadi, menjadi tidak semenarik dahulu akibat peningkatan waktu dan biaya perjalanan yang berlipat-lipat.
Kita tidak bisa menyalahkan para pengembang apabila mereka enggan bekerja sama secara serius terutama dalam posisi setara dengan perencana dan operator angkutan umum. Terlebih bila ketersediaan dan kelas layanan yang disediakan masih jauh dari target pasar para pengembang itu sendiri.
Akibatnya, transportasi umum cenderung diposisikan seperti anak tiri dalam setiap pengembangan kawasan properti. Bisa dibandingkan selama ini besarnya usaha, investasi dan biaya perawatan yang dikeluarkan perusahaan properti dalam mendapatkan akses jalan raya maupun jalan tol apabila dibandingkan dengan pengelluaran mereka untuk mendukung transportasi umum.
Sementara, posisi pemerintah yang dapat dikatakan baru mulai serius menangani angkutan umum, menghadapi banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar masyarakat kembali tertarik menggunakan angkutan umum.
Permasalahan kelayakan kendaraan, kualitas layanan, kepastian jadwal, keamanan dan prioritasi angkutan umum hanya beberapa dari sekian banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Keseriusan
Kunci keberhasilan pengembangan dan penerapan TOD sesungguhnya terletak pada keseriusan dan kesediaan para pemangku kepentingan. Pengembang, pemerintah maupun dunia transportasi harus duduk bersama dan setara dalam sebuah kerangka kerja sama usaha yang didasarkan pada kesadaran saling membutuhkan dan dapat saling menguntungkan.