JAKARTA, KompasProperti - "James Riady saingan dengan Sugianto Kusuma (Aguan). Meikarta ini untuk mengimbangi Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 di utara Jakarta," sebut Jehansyah Siregar.
Pernyataan Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB) ini dilontarkan terkait peluncuran megaproyek Meikarta oleh Lippo Group beberapa waktu silam.
Baca: Lippo Kembangkan Meikarta Senilai Rp 278 Triliun
Menurut Jehansyah, meski James dan Lippo Group-nya didukung oleh mantan pejabat negara ternama macam Theo L Sambuaga (Mantan Menteri Negara Perumahan Rakyat), dan Agum Gumelar (Mantan Menteri Perhubungan), namun Aguan dengan bendera Agung Sedayu Group (ASG)-nya, telah lebih dulu mencuri start.
Tak main-main, Aguan mengembangkan PIK 2 di atas lahan seluas 1.000 hektar. Sebagai sebuah flagship project, PIK 2 dinamai Sedayu Indo City yang hanya berjarak tempuh 5 kilometer dari jilid perdananya, PIK 1.
Serupa dengan Meikarta, PIK 2 juga diklaim menawarkan berjuta fasilitas dengan mengadopsi konsep hijau. ASG mengalokasikan area hijau seluas 60 hektar.
Sementara central business district (CBD)-nya mendapat porsi 100 hektar, dan fasilitas lainnya seluas 520 hektar.
Baca: Lippo, Meikarta, dan Sejumlah Proyek Properti yang Belum Tuntas
Jika Meikarta dirancang oleh konsultan arsitektur dan desain internasional DP Architects yang berbasis di Singapura, demikian halnya dengan Sedayu Indo City yang merupakan hasil karya DDG dari Amerika Serikat.
DDG beken sebagai konsultan dan perencana terkemuka dengan proyek-proyek macam Town Square Las Vegas, National Harbor Maryland, Viscaya di Pudong Shanghai, dan lain-lain.
Lepas dari persaingan kedua naga properti ini, Jehansyah mengatakan, Meikarta perlu diapresiasi sebagai upaya pengusaha nasional Indonesia menghadirkan properti berkelas internasional yang bisa bersaing dengan kota-kota maju di negara tetangga.
Meikarta yang berlokasi di timur Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, memang digadang-gadang sebagai "Jakarta Baru". Dikembangkan di atas lahan seluas 500 hektar dengan inovasi, dan terobosan baru.
Sebelumnya, James Riady menjelaskan, Meikarta merupakan inisiatif besar dalam membangun Jakarta baru dengan desain dan infrastruktur berkelas internasional.
Karena itu, Meikarta dirancang oleh konsultan-konsultan arsitektur dan perencana asing dengan harapan dapat bersaing di kawasan regional Asia Tenggara.
Di kota baru ini, James menuturkan, rencananya akan dikembangkan 100 gedung tinggi dengan ketinggian masing-masing gedung sekitar 35 hingga 45 lantai.
Ke-100 gedung itu terbagi dalam peruntukan huian sebanyak 250.000 unit, perkantoran strata title, 10 hotel bintang lima, pusat belanja dan area komersial seluas 1,5 juta meter persegi.
Fasilitas yang akan melengkapinya antara lain pusat kesehatan, pusat pendidikan dengan penyelenggara dalam dan luar negeri, tempat ibadah, dan lain-lain.
"Khusus untuk perumahannya, kami membidik segmen kelas menengah. Harga hunian yang kami patok senilai Rp 12,5 juta per meter persegi," kata James.
Ke mana pemerintah?
Intuisi bisnis James dan Lippo Group, menurut Jehansyah boleh dibilang jitu. Betapa tidak, proyek Meikarta dikelilingi enam infrastruktur dasar utama yang akan terhubung langsung.
Mudah dimengerti, dengan akses demikian lengkap, Lippo sangat sensitif terhadap dukungan infrastruktur. Sebagai pengembang, tentu saja, mempertimbangkan infrastruktur merupakan hal utama sehingga kawasan yang akan digarap mendapat akses memadai.
"Pada gilirannya, nilai kawasan sekaligus properti di dalamnya akan melonjak," sebut Jehansyah.
Namun begitu, menjadi pertanyaan besar, ke mana pengembang pemerintah? Di mana posisi Perum Perumnas sebagai penyedia perumahan nasional? Ke mana BUMN-BUMN properti lainnya saat swasta justru berlomba menjadikan koridor timur Jakarta ini sebagai "tambang emas" baru?
Di tengah kota-kota Tanah Air yang masih berkutat dengan permukiman kumuh, besarnya defisit rumah, krisis ruang terbuka hijau (RTH), krisis fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos-fasum), kenapa kesempatan pengembangan kawasan untuk kepentingan publik justru diabaikan?
"Padahal infrastruktur-infrastruktur dasar tersebut dibangun dengan menggunakan anggaran negara," tanya dia.
Menurut Jehansyah, pejabat kita terlalu fokus menghabiskan dana APBN dan APBD. Mereka tidak punya kapasitas untuk mengelola apa yang disebut land value gain capture demi kebutuhan publik.
Karena itu, Jehansyah menengarai pembangunan infrastruktur tersebut dipersembahkan untuk kepentingan bisnis properti para pengembang naga.
Akhirnya, pemerintah tidak bisa berharap kepada pengembang swasta untuk membantu menyediakan perumahan rakyat, menyediakan RTH, mengentaskan permukiman kumuh, memasok fasilitas publik dan lain sebagainya.
Demikian halnya untuk mengatasi persoalan mega urbanisasi Jabodetabek-Bandung Raya yang akan melahap lahan pertanian secara besar-besaran di Pulau Jawa.
"Apakah ini memang direncanakan di dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Jawa Barat, RTRW Jabodetabek ataupun RTRW Bandung Raya," ucap dia.
Semua poin di atas, dinilai Jehansyah, semakin mengonfirmasi betapa lemahnya peran pemerintah dalam mengembangkan kawasan permukiman dan kota-kota baru.
Jika pemerintah tetap bertahan seperti sekarang, maka tidak ada lagi yang tersisa selain menagih kewajiban-kewajiban pengembang yang selama ini justru susah sekali ditagih.
Perum Perumnas sendiri sebagai salah BUMN yang punya kewajiban menyediakan hunian rakyat, belum akan bergerak dalam waktu dekat, meskipun sudah memiliki lahan di daerah Karawang, Jawa Barat.
Direktur Pemasaran Perum Perumnas Muhammad Nawir mengatakan, saat ini pihaknya fokus pada pengembangan proyek yang sudah diluncurkan sebelumnya di kota-kota seluruh Indoensia.
"Lahan di Karawang masih lama (digarap). Itu land bank kita. Kita tidak punya lahan di Cikarang," kata Nawir.
Dia melanjutkan, nantinya lahan di Karawang akan dimanfaatkan untuk pengembangan hunian dengan segmen kelas menengah.
Kebijakan "negotiable"
Jehansyah juga mempertanyakan kebijakan pemerintah dalam hal penyediaan perumahan, permukiman, dan perkotaan yang selalu bisa dinegosiasikan kembali (negotiable).
Pemerintah dinilai memproduksi kebijakan yang memang sulit secara efektif dapat mencapai sasaran perumahan dan permukiman layak untuk semua golongan.
"Kebijakan tersebut sangat menguntungkan pengembang dan kewajiban-kewajiban mereka di atas kertas bisa diabaikan begitu saja. Kebijakan dibuat agar bisa dinegosiasikan kembali," cetus dia.
Dengan demikian, kendati di Meikarta akan ada sejuta fasilitas termasuk pendidikan, pusat belanja, rumah sakit, dan lain-lain, namun itu sifatnya komersial dan sudah pasti sangat mahal untuk diakses.
Kewajiban tersebut adalah:
1. Menyediakan Hunian Berimbang, dengan penyediaan Rumah Umum dan Rumah Swadaya bersubsidi sebagai bagian 3 dari perbandingan 1:2:3 sesuai UU Perumaham dan Permukiman 1/2011.
2. Kewajiban menyediakan rumah susun sewa (rusunawa) sebagai kewajiban atas pembangunan apartemen menengah atas, yaitu rusunawa seluas 20 persen dari luas lantai apartemen, dan di hamparan yang sama sesuai UU Rusun Nomor 20 Tahun 2011.
3. Kewajiban menyediakan fasos dan fasum milik pemerintah seperti Rumah Sakit Umum (RSU), SD Negeri, SMP Negeri, SMA Negeri, dan sebagainya.
4. Kewajiban menyediakan RTH 30 persen.
5. Kewajiban penyerahan prasarana, sarana dan utilitas (PSU).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.