Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bernardus Djonoputro
Ketua Majelis Kode Etik, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Bernardus adalah praktisi pembiayaan infrastruktur dan perencanaan kota. Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah, dan saat ini menjabat Advisor Senior disalah satu firma konsultan terbesar di dunia. Juga duduk sebagai anggota Advisory Board di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung ( SAPPK ITB).

Selain itu juga aktif sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salzburg Austria. Bernardus adalah Penasehat Bidang Perdagangan di Kedubes New Zealand Trade & Enterprise.

Keberagaman yang Anarkis

Kompas.com - 03/04/2017, 17:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHilda B Alexander

Saya bermalam minggu sambil menonton lakon wayang kulit atas undangan Yayasan Tidar. Kisahnya untuk mengenang turunnya berkah dan roh suci Yang Maha Kuasa pada Romo Resi Brotonirmoyo di Gunung Tidar, dan merayakan keberagaman.

Lakon ini merupakan sebuah pergelaran wayang luar biasa karena diawaki oleh pesinden mancanegara Hiromi Kano dari Jepang, Dora Hyorfi dari Hungaria, dan pesinden asal Amerika Serikat Agnes Feroso.

Tentu saja, pergelaran itu membantu saya tertarik mendalami pesona kota yang dibalut nilai-nilai budaya yang kuat ini. Pesona yang layak untuk dijadikan modal bagi Indonesia untuk mengembangkan pariwisata spiritual, sambil terus mengembangkan nilai luhur pluralisme yang kian mahal.

Paradoks Keseragaman

Sebenarnya Magelang bisa menjadi contoh bagaimana kota Jawa tumbuh dan berkembang sampai saat ini.

Berangkat dari filosofi pemilikan hak atas tanah hila hila atau tanah suci dalam masyarakat hukum.

Ruang kota Jawa tidak lepas dari adat Jawa yang mengenal istilah “sedumuk batuk senyari bumi tan lakoni pecahing dodo lutahing ludiro”.

Saya coba memahami sebagai cara memandang tanah sebagai hal yang sangat sakral. Sakral bagaikan pembelaan kehormatan seorang istri oleh suaminya, sampai perlu mempertaruhkan tumpahnya darah dan regangnya nyawa.

Filosofi ini mendasari perilaku menjaga kawasan adat dari kerusakan, yang bisa mengancam keberlanjutan eksistensi dalam kehidupan masyarakat hukum adat.

Namun struktur ruang ribuan tahun ini tidak bisa menolak perkembangan peradaban dan kemajuan zaman. Dataran Kedu terus bertumbuh dan menjadi bagian tak terpisahkan dengan metropolitan Yogyakarta.

Sepanjang 43 kilometer saya berjalan, kiri kanan adalah tutupan ruko, yang diikuti ruko selanjutnya. Keseragaman sepanjang 43 kilometer.

Begitu luar biasanya pembangunan sepanjang pita jalan nasional, kita bisa menebak setelah mini market, pasti ada ATM, dan kantor Pegadaian, masjid, kemudian bank BUMN.

Dan 2 kilometer kemudian, kembali setelah mini market, tak sulit memastikan bahwa tak jauh akan ada ATM, kantor Pegadaian,  masjid, bank BUMN, dan begitu seterusnya hingga perjalanan habis. Terus berulang seragam, sepanjang 43 kilometer. Bahkan, batas masuk kota pun sudah tidak lagi tampak.

Maka, ketika kita bertanya, ada apa di balik jajaran ruko sepanjang 43 kilometer itu?

Jangan heran, kalau Anda jumpai ketimpangan, kemiskinan dan kerusakan bentang alam akibat ekstensifikasi perambahan untuk bertahan hidup.

Ini seperti paradoks yang sedang kita alami akhir-akhir ini. Suasana usaha penyeragaman koridor keyakinan dan asal-usul,  terasa menghimpit hak hila-hila.

Di balik gugusan pongahnya keseragaman,  ada ketimpangan dan luka pada nilai-nilai luhur kita.

Hari ini saya belajar. Kita harus keluar dari jaring anarkisme ini, dan terus beri pupuk kesuburan nilai-nilai suci keberagaman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com