JAKARTA, KOMPAS.com - Selain perizinan, masalah lain yang kerap dikeluhkan pengembang dalam realisasi rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) adalah ketersediaan listrik dan air di beberapa wilayah.
Seperti diketahui bahwa syarat untuk akad kredit perumahan subsidi bagi MBR adalah sudah tersedianya air dan listrik.
Hal itu kemudian berimbas tak terhuninya rumah selama beberapa waktu padahal sudah rampung dibangun.
Menanggapi hal tersebut, pemerintah justru menganggap pengembang tak melakukan studi kelayakan terlebih dulu terhadap lokasi, dan lahan pembangunan rumah subsidi.
"Setiap pengembang harusnya lebih awal menetapkan lokasi yang memang bisa disuplai listrik. Kecenderungan pengembang adalah tidak melakukan konsultasi dengan PLN apakah di situ ada daya atau tidak, setelah terbangun baru minta tapi dayanya tidak tersedia," kata Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin, di Jakarta, pekan lalu.
Akibatnya, lanjut Syarif, rumah yang sudah dibangun kosong selama dua tahun karena program PLN baru masuk ke lokasi tersebut dalam kurun waktu tersebut.
Hal sama juga berlaku pada ketersediaan air. Para pengembang, menurut Syarif harus melihat dulu apakah lokasi tersebut dapat saluran air dari PDAM atau air tanah.
"Intinya, bikin feasibility study sebelum pembangunan harus dipastikan kalau memang lokasinya tepat untuk membangun perumahan," tambahnya.
Kendati demikian, Syarif menegaskan bahwa pihaknya bukannya tutup mata, tetapi ketersediaan listrik dan air bukan menjadi domain Kementerian PUPR.
“Soal listrik PLN untuk rumah MBR yang dikeluhkan bukan wilayah kami, tapi kami sudah koordinasikan agar PLN berikan stimulus juga,” pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.