JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangunan hunian berkembang yang diwajibkan pemerintah terhadap para pengembang masih menuai kontroversi. Dua asosiasi perumahan, yaitu Organisasi pengembang hunian seperti Real Estat Indonesia (REI) dan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) terus mengkritisi kebijakan tersebut.
REI dan Apersi terus mengkritisi keberadaan Undang-undang (UU) Nomor 1 tahun 2011 dan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 7 Tahun 2013 yang digunakan sebagai acuan untuk menerapkan kebijakan pembangunan hunian berimbang. Menurut UU itu pengembang diwajibkan mewujudkan perumahan dengan konsep hunian berkembang.
Selain diamanatkan dalam perundangan, kewajiban membangun rumah dengan konsep hunian berkembang juga diperkuat dengan Permen Nomor 10 tahun 2012 yang merupakan pembaruan dari Permen Nomor 7 tahun 2013 bahwa konsep hunian berimbang untuk rumah tapak adalah dengan perbandingan 1:2:3.
Artinya, dalam membangun satu rumah mewah, pengembang wajib mengimbanginya dengan dua rumah menengah dan tiga rumah sederhana dalam satu hamparan atau tidak dalam satu hamparan tetapi pada satu wilayah kabupaten/kota.
"Masalahnya adalah dengan istilah satu hamparan ini menyulitkan pengembang dan akan lebih mudah kalau diganti satu provinsi," kata Sekretaris Jenderal Apersi, Harry Endang Kawidjaja, di Jakarta, Kamis (7/4/2016).
UU Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun mengatur bahwa dalam pembangunan rumah susun komersial, pengembang wajib menyediakan rumah susun umum untuk MBR, sekurang-kurangnya 20 persen dari total luasan lantai rumah susun komersial yang dibangun.
Terkait hal tersebut, Wakil Ketua Bidang Hukum dan Perundang-Undangan REI, Ignesjz Kemalawarta, menyebutkan bahwa pembangunan hunian berimbang dalam satu hamparan hampir tidak dimungkinkan. Hal itu mengingat semakin sulitnya pengembang memperoleh lahan yang feasible.
Menanggapi itu, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin mengaku telah memudahkannya. Pemerintah mengizinkan pembangunan hunian berkembang di satu wilayah kota atau kabupaten.
Hal lainnya yang menjadi keberatan REI adalah sanksi pidana yang tercantum dalam pasal 15 B Permen Nomor 7 tahun 2013. Menurut Igneszj, hal itu bertentangan dengan UU Nomor 1 tahun 2011 dan meminta pasal tersebut untuk dihapuskan.
Kritik lainnya juga disematkan pada pasal 34 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 2011 yang bahwa badan usaha yang melakukan pembangunan perumahan mesti mewujudkan hunian berimbang.
"Badan usaha tidak memiliki kewenangan mengatasi masalah yang muncul ketika pada pembangunan rumah MBR dengan sistem berimbang," ucap Igneszj.
Oleh karena itu, lanjut Ignesjz, REI meminta pemerintah untuk memperbolehkan hunian berimbang dibangun dengan kerja sama badan usaha.
Syarif kemudian mengakui kebijakan terkait hunian berkembang masih tidak membuat pengembang tertarik untuk membangun hunian berimbang.
"Pengembang cenderung tidak puas terhadap Undang Undang Nomor 1 dan Nomor 20 tahun 2011 serta lebih parah lagi Permen Nomor 7 tahun 2013 justru lebih memberikan ketikdanyamanan bagi pengembang karena menerapkan sanksi pidana dan perdata sehingga menimbukan konfrontasi dengan pengembang, padahal pemerintah ini ingin jadi mitra mereka," jelasnya.
Kendati begitu, Syarif menyatakan saat ini pemerintah berniat melakukan deregulasi substansi terkait konsep hunian berimbang agar pengembang tidak keberatan membangunnya dan mewujudkan harmonisasi hunian berimbang.
"Saat ini sudah ada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang sudah siap ditandatangani yang juga tak lepas dari Undang Undang Nomor 1 tahun 2011," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.