Padahal, sertifikat tersebut merupakan bukti kepemilikan atas lahan dan bangunan yang sudah mereka lunasi sejak tiga tahun lalu (2013), baik dengan cara tunai keras, tunai bertahap, maupun cicilan kredit pemilikan rumah (KPR).
Salah warga penghuni Violet Garden, Luthfi Natadirdja, menuturkan, berbagai cara dan pendekatan damai sudah dilakukan. Mulai dari menelepon pengembang, yakni PT Nusuno Karya, hingga mendatangi kantor pusat mereka di Jalan Raya Jatiwaringin Nomor 9 A Lantai 2, Bekasi.
"Namun, hasilnya nihil. Kami diping-pong ke sana ke mari. Tak ada kejelasan," ujar Luthfi kepada Kompas.com, Kamis (18/2/2016).
Karena tak ada kejelasan, lanjut Luthfi, beberapa perwakilan warga kemudian meminta advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pancasila untuk melakukan mediasi dengan PT Nusuno Karya.
Sayangnya, upaya tersebut juga tak menampakkan hasil. Hingga kemudian warga yang didampingi LBH Pancasila melaporkan dugaan penyalahgunaan sertifikat ini kepada Polda Metro Jaya pada 11 November 2015.
Dari keterangan LBH Pancasila, Luthfi mendapat informasi, sertifikat yang seharusnya menjadi hak warga perumahan Violet Garden ternyata masih berupa sertifikat induk.
Sertifikat induk ini pun kemudian dijadikan agunan kepada PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII) yang kini telah berganti nama menjadi PT Bank Maybank Indonesia Tbk.
"PT Nusuno Karya menjaminkan sertifikat tersebut ke BII untuk meraup sejumlah dana," tambah Luthfi.
BII, lanjut Luthfi, bukanlah bank pertama yang menerima jaminan sertifikat induk perumahan Violet Garden yang diagunkan PT Nusuno Karya. Sebelumnya, pengembang ini diketahui mengagunkan sertifikat induk ini ke PT Bank Bukopin Tbk.
"Sekarang, hidup kami tidak tenang," cetus Luthfi.
Dua Bank Pelat Merah
Luthfi memaparkan, malapetaka ini berawal dari tawaran PT Nusuno Karya yang menggiurkan. Mereka memasarkan perumahan tipe 36/72, 45/90, dan 54/90 serta 60/100. Harganya terbilang murah yakni mulai dari Rp 320 juta.
Luthfi sendiri tergoda dan membeli rumah tipe 36/72 seharga Rp 320 juta pada tahun 2010. Saat itu, pengembang menawarkan fasilitas KPR yang disediakan dua bank BUMN yakni PT BRI Tbk dan PT BTN Tbk.
"Saya pilih KPR BRI karena bunganya lebih rendah hanya 12 persen dengan tenor 15 tahun," ungkap Luthfi.
Dengan bunga sebesar ini, dia harus mencicil kepada BRI setiap bulan sebesar Rp 2,5 juta untuk setahun pertama.
Tahun kedua hingga seterusnya, Luthfi harus membayar angsuran sebesar Rp 3 juta per bulan, disesuaikan dengan suku bunga pasar.
Sudah setahun Luthfi tidak membayar cicilan, dan anehnya BRI selaku pengucur KPR tidak melayangkan rekening tagihan lanjutan.
"Saya sengaja tidak membayar cicilan, karena informasi sertifikat perumahan Violet Garden diagunkan pengembangnya," cetus dia.
Luthfi menjelaskan, dari total 300 warga penghuni perumahan Violet Garden, sekitar 100 di antaranya sudah membayar lunas rumahnya. Mereka membayar lunas dengan cara tunai keras, tunai bertahap dan cicilan KPR bertenor pendek.
Atas peristiwa ini, kata Luthfi, sejumlah warga dan LBH Pancasila akan melakukan pertemuan lanjutan pada Minggu (21/2/2016) guna membahas pemanggilan empat warga sebagai saksi pengaduan dugaan penyalahgunaan sertifikat oleh Polda Metro Jaya.
Kompas.com berusaha menghubungi Presiden Direktur PT Nusuno Karya, Cipto Sulistyo. Namun, hingga berita ini tayang, pesan singkat belum berbalas, dan hubungan telepon tidak aktif.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.