Hal tersebut disampaikan Ali di kantor IPW, Pasar Baru, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2014). Contoh kasus "mafia pailit" paling santer terdengar pada awal tahun ini adalah kasus Apartemen Central at Kemanggisan atau yang sebelumnya disebut dengan Rusunami Kemanggisan Residence.
Sebenarnya, merebaknya kasus tersebut berawal dari putusan pailit atas pengembang Rusunami Kemanggisan Residence, PT Mitra Safir Sejahtera (PT MSS), pada Februari 2012 lalu. PT MSS tidak membayarkan kembali unit rusun yang telah dibeli secara lunas. Malah, ketika masalah ini belum terselesaikan, pengembang baru bernama PT Berlian Makmur Properti menjual unit yang telah dibeli calon penghuni.
Saat ini, apartemen di Jakarta Barat tersebut sudah disegel oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Apartemen itu rupanya belum mengantongi izin perubahan peruntukan dari rusunami menjadi apartemen.
Kasus itu kemudian memunculkan istilah baru, yaitu "mafia pailit". Istilah ini terkait dengan kesengajaan perusahaan properti memailitkan dirinya, kemudian memperoleh kembali perusahaan tersebut berikut proyeknya dengan harga murah lewat perusahaan rekanan atau partner.
"Satu-dua nasabah bisa memailitkan (perusahaan). Dipailitkan, diambil lagi sama dia dengan harga murah. Hakim, kurator, pengembang, semuanya bermain. Karena itulah disebut mafia," terang Ali.
Menurut Ali, dalam kasus-kasus seperti itu, tampak jelas kurangnya perlindungan terhadap konsumen dalam Undang-Undang Kepailitan.
"Yang mengambil alih lagi itu (perusahaan), partnernya. Ya, sama saja. Tak ada kewajiban membayar kepada konsumen. Itu lemahnya, undang-undang pailit kita. Konsumen sangat lemah," tekan Ali.
Menurut dia, selama ini sudah banyak pengembang properti terkait masalah serupa, tetapi tidak muncul ke permukaan. Alasannya, kasus-kasus semacam itu lebih banyak diselesaikan di bawah meja.
Ratusan keluhan
Walau demikian, keluhan konsumen properti tidak hanya menyangkut "mafia pailit". Berdasarkan data pengaduan konsumen properti kepada IPW, setidaknya ada pengaduan atas 43 kasus properti hingga Februari 2014 lalu. Sebanyak 17 kasus berasal dari Jakarta; 16 kasus dari daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi; 8 kasus dari bagian Pulau Jawa lain; serta 2 kasus dari luar Pulau Jawa.
Kasus yang melibatkan "mafia pailit" memang masuk dalam jumlah terbanyak, yaitu 8 kasus, dan semuanya terjadi di Jakarta. Jumlah itu hanya kasus yang sampai ke meja IPW.
Menurut Ali, di luar daftar itu masih banyak kasus lain. Di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), misalnya, ada puluhan sampai ratusan (keluhan). Sayangnya, YLKI hanya bertindak sebagai wadah. Menurut Ali, badan seperti YLKI tidak bisa apa-apa untuk mengeksekusi perusahaan terkait.
Sementara itu, pengaduan terbanyak kedua adalah molornya serah terima properti, yang mencapai 7 kasus di Jabodetabek. Kasus dengan jumlah terbanyak ketiga adalah sengketa PPRS, berjumlah 5 kasus, dan semuanya juga terjadi di Jakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.