JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 80 persen kawasan, permukiman dan komersial, di wilayah DKI Jakarta dinilai "mengangkangi" ruang terbuka hijau (RTH).
Hal itu diungkapkan konsultan RTH dan arsitek lanskap Nirwono Joga, kepada Kompas.com, Rabu (17/2/2016).
Menurut Nirwono, pelanggaran terhadap RTH dilakukan dalam berbagai cara dan variasi pengembangan. Mulai dari permukiman yang dibangun di atas bantaran kali hingga konversi taman menjadi bangunan beton komersial.
"Kalijodo itu tadinya merupakan jalur hijau semua yang luasnya minimal setengah kali lebar sungai," tutur Nirwono.
RTH Kalijodo dibuat seluas itu tujuannya supaya bisa mengantisipasi luapan air sungai, dan mencegah banjir.
Sekarang, tambah Nirwono, kondisinya sekarang jalur hijau tersebut malah dikangkangi untuk permukiman dan komersial. Jadi, ketika hujan, air sungai meluap dan tidak ada lagi yang dapat melindungi warga dari banjir.
Padahal, lanjut Nirwono, idealnya di atas area RTH ini terlarang didirikan bangunan karena bisa mengganggu dua fungsi utamanya, yakni sebagai serapan air dan paru-paru kota (penyedia oksigen kota).
"Sampai saat ini tidak ada teknologi apapun yang bisa menggantikannya menyediakan oksigen. RTH ini harus ada di pusat kota karena fungsinya sebagai paru-paru kota," tutur dia.
DKI Jakarta sendiri terus mengalami defisit RTH dari tahun ke tahun. Pada tahun 1965 RTH di ibu kota Indonesia ini masih berada di angka 37,2 persen.
Jumlah ini bisa dikatakan ideal, karena sesuai dengan kesepakatan PBB yang menyatakan bahwa sebuah kota minimal punya 30 persen RTH dari total seluruh wilayah kota.
Rinciannya RTH privat 10 persen dan RTH publik 20 persen. RTH privat ini bisa diwujudkan melalui taman-taman, halaman rumah, dan bahkangreen roof.
Sementara RTH publik dibagi menjadi dua, yakni area dan koridor. Untuk area, misalnya ada taman kota. Sementara, untuk koridor berupa jalur hijau di bantara kali, pinggiran rel kereta, daerah sekitar sutet, bawah jembatan jalan, dan lain-lain.
Kemudian pada tahun 1985, RTH Jakarta berkurang menjadi 25,85 persen, hingga pada 2000 lalu terus menyusut menjadi tinggal 9 persen.
Meski sempat bertambah menjadi 9,8 persen pada tahun 2010 dan 9,9 persen pada tahun lalu, tetap saja belum memenuhi angka ideal.
Itulah mengapa Pemprov DKI Jakarta menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030 melalui Perda Nomor 1 Tahun 2012 dan dikuatkan kembali dalam Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) 2030.