Hal tersebut dipicu oleh anjloknya omset pengembang hingga mencapai 60 persen per September 2015, dan ditundanya peluncuran proyek-proyek baru. Bahkan, sebanyak 60 persen dari total 930 pengembang yang beroperasi di ketiga wilayah ini sudah tidak mampu lagi mencetak penjualan.
Padahal, motor penggerak bisnis dan industri properti Indonesia ada di wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Ketiga wilayah ini berkontribusi terhadap pembangunan perumahan sebesar 40 persen, baik untuk perumahan subsidi, maupun non-subsidi.
Ketua DPD REI DKI Jakarta, Amran Nukman, mengatakan hal tersebut kepada Kompas.com, sesaat sebelum Temu Anggota Tiga DPD REI DKI Jakarta-Banten-Jawa Barat, di Bekasi, Selasa (20/19/2015).
"Saat ini menjual properti paling sulit akibat ekonomi melemah. Ada sekitar 60 persen pengembang dari gabungan tiga DPD REI yang sudah tidak mampu mencetak penjualan. Kalau tidak segera dilakukan aksi penyelamatan, maka para pengembang akan runtuh satu per satu," papar Amran.
Jika hal itu terjadi, kata Amran, bukan hanya pengembang properti yang jatuh, melainkan 174 industri lainnya terkait properti bakal ikut runtuh.
Oleh karena itu, tiga DPD REI ini menuntut pemerintah untuk segera menerbitkan petunjuk teknis berupa instruksi presiden guna merealisasikan paket-paket kebijakan ekonomi untuk mendorong percepatan pertumbuhan sektor properti.
Ada empat hal yang dituntut pengembang, yakni penundaan kewajiban membayar pajak yang tidak tertagih selama 2010-2014, penyederhanaan perizinan, ketersediaan lahan murah untuk pengembangan rumah bagi masyarakat berpenghasila rendah (MBR), dan relaksasi Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau RasioFinancing to Value untuk Kredit Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit Pembiayaan Kendaraan Bermotor.
"Kami harapkan empat tuntutan ini diperhatikan oleh pemerintah untuk segera diterbitkan kebijakan teknisnya agar segera dieksekusi," pungkas Amran.