"Dari uang sebanyak itu, saya bagi-bagi. Sejumlah Rp 6 juta untuk mengolah lahan, Rp 12 juta membeli bawang di pengepul untuk dijadikan bibit, sewa pompa Rp 6 juta, dan Rp 6 juta buat pupuk serta pestisida," papar Eko.
Sementara untuk tenaga penanam bawang, Eko merekrut sepuluh ibu muda yang diberinya upah Rp 27.000 per hari.
"Panen bawang lebih singkat waktunya. Saya hanya butuh waktu dua bulan. Tapi, itu dengan catatan air sungai di sekitar lahan garapan tidak kering. Ini saya beralih nanem brambang karena sawah padi kering dan rusak," tutur Eko.
Karena itu, dalam lima bulan ke depan, setelah bawang, Eko akan menanami lahan yang disewanya dengan cabai dan kemudian bawang kembali sampai musim hujan tiba.
"Kalau hujan tidak turun sampai Desember nanti, saya tetap akan tanam bawang meskipun hasilnya tak sebesar nanem padi. Daripada menganggur gak ada kerjaan," kata Eko.
Demikianlah Eko, sang pekerja keras. Sosok yang mewakili kaum proletar. Kaum yang tak pernah berhenti bertarung, memperebutkan hari-hari yang kadang pasti, tak jarang pula pergi.
Eko tidak mengeluh, atau pun mempertanyakan keadaan. Kendati malamnya kerap tercuri pagi, sehingga tak sempat menikmati mimpi. Karena baginya, malam hanyalah milik mereka para pendamba harapan.
Eko percaya, Tuhan punya kepastian, petani tetaplah harus menanam, sampai fajar tak kunjung datang, dan jarum jam berhenti berdebam.
Berikut video perjalanan tim Kompas.com, menyoroti kehidupan para petani di Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Brebes:
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.