TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - Kualitas hidup, dan kelayakan huni (livability) Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, semakin hari kian menurun.
Hal ini ditandai dengan semakin menyusutnya ruang terbuka hijau (RTH) akibat konversi besar-besaran menjadi bangunan beton, waktu tempuh perjalanan kian lama karena kemacetan tak terkendali, dan terputusnya konektivitas dengan wilayah lain.
Tak hanya itu. Menjamurnya fasilitas gaya hidup konsumtif macam pusat belanja, belum tersedianya fasilitas ramah anak dan warga lanjut usia (lansia), serta perbaikan infrastruktur dasar macam jalan dan drainase yang dilakukan tambal sulam ikut memperparah kondisi Tangsel semakin tidak layak huni.
Ada banyak pekerjaan besar, lanjut Kokok, yang seharusnya dengan sangat mudah dilakukan pengelola kota.
Kokok menyebut potensi warga Tangsel dengan kualitas pendidikan dan pendapatan lebih tinggi di antara sesama warga penyangga Jakarta lainnya.
"Warga Tangsel itu cerdas-cerdas, kalangan terdidik, apalagi yang tinggal di dalam kompleks perumahan macam BSD City, Alam Sutera, Summarecon Serpong, Bintaro Jaya. Untuk itu, seharusnya pemerintah berperan dan mendorong kami saling bekerja sama menjadikan Tangsel lebih baik," kata Kokok.
Untuk hal sederhana saja, dalam mengantisipasi banjir seperti pembuatan sumur biopori, warga Tangsel melakukan inisiasi dan bergerak sendiri.
Warga Tangsel, lanjut Kokok, dipaksa mencari dan menentukan jalannya sendiri. Dia mengatakan, masyarakat mulai bergerak memanfaatkan angkutan publik karena stres menghadapi kemacetan setiap hari yang tak terkendali.
"Semua fasilitas yang tersedia secara teratur dengan kualitas baik selama ini disediakan oleh pengembang swasta. Pemerintah Kota Tangsel gagap menghaddapi perkembangan dan pertumbuhan kota yang demikian pesat," imbuh Ahmad.
Gagapnya Pemkot Tangsel, lanjut Ahmad, terlihat dari penanganan dan perbaikan infrastruktur dasar macam jalan, jembatan, dan drainase.
"Yang ada malah saling menyalahkan. Akibatnya, nyaris seluruh ruas jalan di wilayah kota Tangsel diperlakukan secara tambal sulam. Jalan diperbaiki tapi drainase dibiarkan. Alhasil ya rusak lagi," cetus Ahmad.
Jauh dari cerdas
Kokok maupun Ahmad sepakat, jika kota Tangsel dikelola secara "tambal sulam" seperti saat ini, pertumbuhan kota akan disetir sepenuhnya oleh pemilik modal.
"Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) sangat mudah direvisi dalam hitungan bulan. Revisi ini yang kemudian menghasilkan tata kota yang amburadul. Selain itu, pengurusan administrasi kependudukan juga jauh dari kata efektif dan efisien. Kami harus bolak-balik hanya untuk mengurus KTP," tandas Kokok.
Sementara itu, untuk menjadikan Tangsel sebagai smart city , Kokok dan Ahmad mengaku ragu. Menurut keduanya Tangsel jauh dari cerdas.
Layak huni
Apa itu kota layak huni? Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) menetapkan 25 kriteria kota disebut sebagai layak huni. ke-25 kriteria tersebut kualitas penataan kota, jumlah ruang terbuka, perlindungan bangunan bersejarah, kualitas kebersihan lingkungan, tingkat pencemaran lingkungan, ketersediaan angkutan umum, kualitas kondisi jalan, dan kualitas fasilitas pejalan kaki.
Kriteria lainnya adalah ketersediaan fasilitas kesehatan, kualitas fasilitas kesehatan, ketersediaan fasilitas pendidikan, kualitas fasilitas pendidikan, ketersediaan fasilitas rekreasi, kualitas fasilitas rekreasi, ketersediaan energi listrik, ketersediaan air bersih, dan kualitas air bersih.
Kriteria berikutnya adalah kualitas jaringan telekomunikasi, ketersediaan lapangan pekerjaan, tingkat aksesibilitas tempat kerja, tingkat kriminalitas, interaksi hubungan antarpenduduk, informasi pelayanan publik, dan ketersediaan fasilitas kaum difabel.