JAKARTA, KOMPAS.com - Meroketnya harga lahan sangat menyulitkan pengembang membangun rumah yang diperuntukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)
Agar harga tanah tetap stabil, Ketua Kehormatan Enggartiasto Lukita memberikan beberapa skema. Salah satu caranya adalah dengan menentukan tata ruang yang tepat.
"Harus ada keberanian menentukan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Diperlukan zoning untuk rumah sederhana, rusun sederhana, komersial, daerah hijau, hunian mewah, dan sebagainya," ujar Enggar di Jakarta, Rabu (8/7/2015).
Zona untuk rumah tapak sederhana, lanjut Enggar, jangan pernah dilengkapi dengan jalan boulevard. Pasalnya Perum Perumnas pernah membuat jalan tersebut, akibatnya rumah diborong pembeli. Para pembeli ini pun membangun borongannya menjadi rumah bertingkat.
Hal ini, tambah Enggar, yang membuat aksi spekulasi semakin menjadi. Seharusnya, rumah untuk MBR, hanya dilengkapi jalan kecil atau gang masuk yang hanya cukup untuk motor. Daerah dalan atau rigth of way (ROW) dibuat selebar 3 meter atau paling besar 6 meter. Sebelum jalan masuk, buatkan lahan parkir motor.
"Kemudian orang katakan tidak manusiawi. Orang yang tinggal di rumah kardus lebih tidak manusiawi. Mereka bersyukur beralih di situ," jelas Enggar.
Menurut Enggar, di dalam pembuatan perencanaan tapak (site plan) perumahan untuk MBR, pemerintah harus melarang adanya ROW yang lebar sampai 20 meter. Dengan begitu, spekulasi tidak terjadi dan keuntungan modalnya tidak akan besar.
Saat MBR sudah memiliki kemampuan yang lebih, Enggar mengatakan, mereka akan pindah. Hal ini juga perlu diberlakukan bagi rumah susun sewa atau rumah susun milik. Dengan demikian, tanah tidak akan naik harganya.
"Pengendalian harga tanah tidak bisa hanya dengan peraturan, mekanisme pasar akan terus berjalan," ucap Enggar.
Ketersediaan lahan
Peraturan hunian berimbang 1:2:3, kata Enggar, bertujuan supaya pertumbuhan tersebar di seluruh pelosok. Dalam satu daerah diharapkan terdapat bangunan rumah murah hingga komersial. Kalau dalam satu daerah hanya ada satu pengembangan oleh satu perusahaan, daerah tidak akan berkembang.
Hunian berimbang mewajibkan pengembang yang membangun satu bangunan rumah mewah untuk membangun juga dua rumah menengah dan tiga rumah sederhana.
"Tidak mungkin kita bangun bagian tiga di Sudirman Center Business District atau SCBD,
kalau saya punya lokasi itu tidak akan juga saya bangun (rumah sederhana) itu di sana. Rugi pasti untung belum tentu," sebut dia.
Seharusnya, tutur Enggar, pemerintah menyediakan lahannya karena pemerintah memiliki banyak tanah. Ia mencontohkan, lahan di Maja, Banten. Di daerah tersebut, lahan pemerintah cukup besar karena banyak sitaan. Lahan ini akan lebih baik dibuatkan site plan untuk membangun rumah sederhana dan perkantoran, dalam satu kota baru.
Namun, Enggar menambahkan, sampai sekarang belum ada jalan pemerintah atas hal ini. Padahal tanah seharusnya masuk ke dalam penyertaan modal negara untuk dibangun rumah sederhana.
"Kalau dituntut, berapa tanah terbengkalai oleh BUMN dan pemerintah? Rumah sederhana pemerintah harus hadir. Kalau tanah itu sudah tersedia maka yakinlah bahwa kita tidak ada kekhawatiran soal rumah rakyat. Kita tidak minta gratis. Pengembang tidak pernah minta subsidi, yang menerima adalah konsumen," imbuh Enggar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.