Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Menariknya Indonesia Buat Investor Asing?

Kompas.com - 02/07/2015, 04:32 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah pemerintah yang akan melegalisasi kepemilikan warga negara asing atas properti di Indonesia memicu kontroversi.

Banyak pihak yang pro dan kontra atas isyarat lampu hijau yang diberikan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono pada Selasa (23/6/2015) lalu.

Mereka yang mendukung berdalih bahwa kepemilikan warga negara asing yang diperluas atau lebih dari sekadar hak pakai, akan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan pasar properti yang saat ini sedang melambat.

CEO Ciputra Group, Candra Ciputra, mengatakan, kepemilikan orang asing berdampak terhadap bisnis properti yang akan diikuti oleh pertumbuhan bisnis terkait seperti konstruksi, material bangunan, jasa konsultansi, dan lainnya.

"Semua sektor saat ini sedang dalam level rendah. Butuh waktu untuk pulih kembali. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan dapat membuat pasar bergairah kembali. Efeknya baik buat properti," tutur Candra, usai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Selasa (30/6/2015).

Candra melanjutkan, dampak kebijakan baru ini jika kemudian jadi dilegalisasi akan secara otomatis membuat pasar, bertumbuh. Terutama pasar kondominium kelas atas yang selama ini harganya masih jauh di bawah Singapura, dan Malaysia.

Selain memicu pertumbuhan harga, kata Candra, penerimaan pajak juga akan meningkat. Pasalnya, mengizinkan warga negara asing memiliki properti sama halnya dengan "mengekspor" yang akan mendatangkan devisa bagi negara.

"Kita enggak boleh tertinggal dari tetangga. Namun, memang hal ini harus disertai dengan batasan-batasan. Pemerintah harus mengatur supaya kepemilikan warga asing ini tidak menstimulasi harga rumah untuk masyarakat menengah ke bawah naik. Harga dan luasan properti harus dibatasi," papar Candra.

Sementara pihak yang kontra menilai bahwa kebijakan ini tak akan menjamin pasar properti secara otomatis tumbuh. Bahkan, menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI), Panangian Simanungkalit, kebijakan ini akan sangat berbahaya jika diteken Presiden Joko Widodo tanpa pertimbangan matang.

"Itu akan menjadi kebijakan yang tergesa-gesa. Lagipula, program Satu Juta Rumah yang lebih krusial, tidak menunjukkan perkembangan progresif dalam enam bulan ini," tandas Panangian.

Jadi, kata Panangian, lebih baik pemerintah menyelesaikan dulu Program Nasional Satu Juta Rumah sebagai bagian dari upaya menyejahterakan masyarakat.

Tidak menarik

Pro dan kontra terkait kepemilikan properti oleh orang asing ini sejatinya bukan hal baru. Sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 tahun 1996 tentang pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia diterbitkan pun, kontroversi sudah terjadi.

Yang menjadi pertanyaan penting adalah, seberapa menarik Indonesia bagi investor asing sehingga harus memiliki properti dan dilegalkan dalam sebuah peraturan?

Komisaris PT Hanson Land International Tbk., Tanto Kurniawan, Indonesia untuk saat ini tidak menarik bagi investor asing yang ingin berinvestasi properti. Tidak seperti Singapura, Malaysia, atau Australia.

"Indonesia punya kendala fundamental berupa kondisi infrastruktur dan fasilitas pendukung yang masih jauh dari kata kondusif," ujar Tanto kepada Kompas.com, Rabu (1/7/2015).

Tanto pun kemudian mengimbau para pihak terkait agar jangan terlalu optimistis bahwa dengan dibukanya kemungkinan pemilikan asing atas properti di Indonesia akan membuat pasar bergairah.

Motif orang Indonesia untuk membeli properti di Australia atau Singapura adalah investasi dengan keuntungan yang tinggi dan untuk tinggal karena bekerja di sana atau untuk akomodasi anak-anak mereka yang sekolah di sana.

Sebaliknya, orang asing yang membeli properti di Indonesia motifnya lebih kepada bisnis atau pekerjaan. Dua motif ini, kata Tanto, sangat tergantung pada situasi ekonomi yang kondusif. Hal ini bisa terlihat dengan mudah dari foreign direct investment (FDI). Jika FDI besar berarti negara ini menarik bagi investor asing, demikian sebaliknya.

"Nah inilah yang menjadi harapan pengusaha properti Indonesia khususnya yang berada di kelas menengah atas agar pemerintah Indonesia bisa secara konsisten menciptakan situasi ekonomi yang menarik," tambah Tanto.

Singapura bisa menjadi contoh mengenai fluktuasi investasi properti yang sangat menarik. Negara ini mendukung bisnis properti dengan menciptakan fasilitas yang lengkap dan canggih agar investor mau beli properti sehingga devisa masuk melalui penjualan properti.

Di Indonesia akan berbeda kondisinya. Sebab, kontribusi pembeli asing masih sangat kecil dan sangat terbatas untuk pertumbuhan usaha. Sementara Singapura, sebagai destinasi keuangan dan bisnis global menarik banyak ekspatriat untuk tinggal dan bekerja.

Menurut Tanto, yang penting adalah bagaimana Indonesia mampu menggarap pasar besar sebaanyak 250 juta orang. Jika perusahaan properti Singapura, Australia, Inggris, Jepang, dan Kanada saja melakukan pameran dan menganggap pasar Indonesia potensial, mengapa pengembang kita mengharapkan orang asing investasi di sini?

"Kita harus menggarap dulu pasar dalam negeri dengan benar melalui perbaikan infrastruktur, fasilitas, mutu pendidikan, rumah sakit, serta gaya hidup sehingga orang Indonesia tidak perlu beli properti di luar negeri," pungkas Tanto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com