Kedua nama ini banyak dijagokan sesama rekan sejawat. Bambang Eryudhawan atau karib disapa Yudha, demikian intensif memanfaatkan media sosial sebagai sarana kampanye. Namun, jauh sebelum itu, Yudha kerap menjadikan media sosial sebagai sarana penyampaian informasi terkait perkembangan arsitektur dan juga perkotaan di Indonesia.
Tak jarang, Yudha mengkritik tajam kebijakan pemerintah terkait implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di kota-kota yang disinggahinya. Demikian halnya, Yudha juga sering mengabarkan perkembangan aktual karya-karya para arsitek asing.
Sementara Ahmad Djuhara, dikenal sebagai aktivis dan juga organisatoris murni. Sejak masih mahasiswa, Juju, demikian nama panggilannya, menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Arsitektur Universitas Parahayangan Bandung pada 1988-1989.
Setelah itu, berturut-turut Juju kemudian menempati posisi struktural dalam berbagai organisasi, termasuk pernah menjadi Ketua IAI Jakarta pada 2006-2009. Juju juga merupakan inisiator dan pendiri Green Building Council Indonesia (GBCI).
Jika mulus terpilih sebagai Ketua Umum IAI periode 2015-2018, Juju akan mengegolkan RUU Arsitek dan membentuk Dewan Arsitek Indonesia sebagai program prioritas.
"Saya akan membawa IAI melalui pranata baru keprofesian arsitek Indonesia. untuk itu, RUU Arsitek harus tembus (goal)," jelas Juju kepada Kompas.com, Kamis (25/6/2015).
Juju menegaskan, jika pemerintah ingin arsitek Indonesia maju dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri harus punya regulasi yang jelas. Terlebih tahun ini Masyarakat Ekonomi ASEAN akan diberlakukan.
Pekerjaan rumah IAI, kata Juju, sebetulnya sangat kompleks. Termasuk mengedukasi masyarakat untuk lebih paham mengenai profesi arsitek. Selain itu, pemerintah juga perlu menegaskan bahwa proyek-proyek bangunan memang harus dirancang arsitek yang berkompeten.
"Sementara untuk internal, saya akan membuat IAI Daerah lebih mandiri, terutama secara finansial. Perlu ada sebuah cara yang efektif membangun hal ini," ujar Juju.
Arsitek yang berkompeten, menurut Juju, harus dibayar dengan proporsional sesuai dengan kompetensinya. Kue industri konstruksi di daerah, selama ini tidak sampai ke arsitek karena tidak dilibatkan. Banyak bangunan-bangunan di daerah yang tidak dirancang oleh arsitek.
"Ini yang akan saya ubah. Karena pasar terbuka akan memaksa masyarakat kita belajar tentang standar yang baik," imbuh Juju.
Sementara Yudha yang pernah menjadi pengurus IAI Jakarta pada 2000-2006 dan Wakil Ketua IAI Pusat 2008-2011 akan memperjuangkan warisan pekerjaan masa lalu yang tak kunjung terselesaikan.
Yudha juga akan memperjuangkan peningkatan fee arsitek dalam RUU Arsitek serta merevisi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) IAI.
"Secara umum, fee rerata masih di bawah 3 persen. Seharusnya 5 persen dan sampai suatu nanti akan mendekati 10 persen," tandas Yudha.
Dia mengaku tak punya hal istimewa terkait visi dan misinya. Namun, sebagai konsekuensi logis dari keterlibatan di IAI sejak 1996-1997, Yudha termotivasi ikut pemilihan tahun ini.
"Saya sempat dua kali ikut pemilihan, yakni 2008 dan 2012 lalu. Tapi kalah," kata Yudha ringan.