Menurut dia, Jepang memiliki segalanya. Mulai dari fulus, keahlian, teknologi, profesional dengan etos kerja tinggi, hingga kemauan untuk menjadi yang terdepan. Semua hal ini bisa diadopsi dengan mengajak investor "Saudara Tua" itu membenamkan dananya di pasar properti Indonesia.
"Transfer dana, transfer teknologi, transfer keahlian, dan transfer etos kerja akan sangat bermanfaat bagi masa depan sektor properti kita. Terlebih saat ini kita sedang mengejar backlog 7,6 juta unit rumah dalam lima tahun mendatang," tutur Hiramsyah kepada Kompas.com, Kamis (4/6/2015).
Dan ketika salah satu raksasa bisnis Toyota Group melebarkan tentakelnya di sektor properti melalui Toyota Housing Corporation dengan mendirikan PT Toyota Housing Indonesia, ketika itu pula peluang bagi Indonesia untuk bersama-sama berkembang dan melangkah lebih maju ketimbang yang telah dicapai saat ini.
Sektor properti kita khususnya perumahan rakyat, kata Hiramsyah, masih jalan di tempat. Kendalanya ada pada dana yang terbatas, tekonologi konstruksi yang masih konvensional, sumber daya manusia dengan keahlian tertentu juga minim, serta regulasi yang setengah hati.
"Namun, saat ini, ketika Pemerintah kembali merilis program satu juta rumah, itu merupakan keseriusan yang harus disambut dengan positif," imbuh Hiramsyah.
Toyota pun tertarik berpartisipasi dan studi kelayakannya sedang dibuat. Menurut Hiramsyah, Toyota Housing Indonesia sudah berdiskusi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk ikut membantu pemerintah menyediakan hunian untuk rakyat.
Menyusul keberhasilan portofolio perdananya itu, Toyota kemudian merambah perumahan tapak (landed residential) bertajuk Toyota Housing Model sebanyak 114 unit di area pengembangan Sakura Regency 3. Sekadar informasi, Sakura Regency 3 dibesut KSO PT Tokyu Land Indonesia, dan PT Hatmohadji dan Kawan (Haka).
Realisasi investasi
Investasi Toyota Housing Corporation ini menambah panjang daftar perusahaan Jepang yang menanamkan modalnya di Indonesia. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), selama lima tahun sejak 2010 hingga Maret 2015, realisasi investasi asal Negeri Sakura itu tercatat menyentuh angka 13,3 miliar dollar AS, setara Rp 175,56 triliun (kurs Rp 13.200).
Sebelum Toyota Housing Corporation, terdapat raksasa-raksasa Jepang lainnya yang sudah eksis di sektor properti Indonesia sejak 1970-an. Mereka merambah segala sub-sektor, mulai dari perumahan, kawasan industri, perkantoran, hingga pusat belanja. Teranyar, AEON Co. Ltd yang membenamkan modal senilai 150 juta dollar AS-200 juta dollar AS atau setara Rp 1,45 triliun-Rp 1,9 triliun. Perusahaan ritel ini membangun sub urban mall di BSD City.
Menyusul kemudian Marubeni, Kajima, Sojitz, Itochu sebagai generasi berikutnya. Menariknya, perusahaan-perusahaan ini tak hanya berbisnis inti sebagai developer juga kontraktor.
Proyek-proyek yang mereka bangun mewujud menjadi properti-properti berpengaruh. Bahkan beberapa di antaranya berkontribusi positif dan mendorong pertumbuhan perekonomian Nasional, seperti kawasan industri. Jenis properti ini ditempati oleh perusahaan-perusahaan Jepang yang membangun pabrik sekaligus berproduksi di sini. Sebagian besar bergerak di bidang industri otomotif, makanan, kimia, material bangunan dan lain sebagainya yang menyerap banyak tenaga kerja.
Kloter pertama
Kloter pertama investor Jepang yang menggarap pasar properti Indonesia kurun 1970-an cenderung simultan. Mereka datang berbarengan dengan tawaran fulus menantang.
Ada beberapa catatan menarik, investor generasi awal lebih tertarik menggarap proyek-proyek landmark ketimbang proyek berklasifikasi di bawahnya atau “ecek-ecek”. Mereka berkompetisi, bahkan tak jarang menjadikan satu sama lain sebagai rival. Persaingan sengit tidak saja dalam tataran besaran nilai investasi, juga skala proyek, dan keunikan desain.
Contohnya Mitsui Corporation dan JAL Hotels Corporation yang membangun Wisma Nusantara. Ini merupakan gedung perkantoran pertama di bilangan MH Thamrin, Jakarta Pusat, sebagai simbol "invasi" Jepang di Indonesia. Karena di sini bercokol perusahaan-perusahaan Jepang sebagai tenannya. Mitsui Corporation dan JAL Hotels Corporation menggaet Indocement Tunggal Prakarsa sebagai mitra lokal strategis. Wisma Nusantara juga popular dijuluki Hotel President (saat ini Pullman Hotel).
Kesuksesan Mitsui Corporation secara komersial, diekori Itochu Corporation yang berkolaborasi dengan Jakarta Setiabudi International. Hasil karya mereka adalah Menara Cakrawala (Skyline Building) yang dibangun pada 1976.
Kemudian berturut-turut pada medio 1980-an, Sumitomo mendirikan Summitmas Tower. Bangunan jangkung yang disewakan ini merupakan usaha patungan antara Sumitomo dan perusahaan Indonesia di bawah naungan bendera Summitmas Property. Dalam perjalanannya kemudian, perusahaan ini memfokuskan diri pada pengembangan dan manajemen gedung perkantoran (commercial high rise). Hingga saat ini Summitmas Property sudah membangun dan mengoperasikan dua gedung perkantoran, yaitu Summitmas I dan II.
Saat yang sama, Kyoei Corporation menyulap lahan kosong di koridor Sudirman menjadi gedung megah Prince Center. Terdorong oleh tingkat okupansi yang tinggi, mereka kemudian mengembangkan Kyoei Prince pada 1993. Sementara Shimizu Corporation, pada 1987, melansir Mid Plaza yang dilengkapi dengan fasilitas akomodasi yang sekarang bernama Intercontinental Hotel.
Sub urban
Tidak seperti generasi pertama, rombongan investor Jepang berikutnya lebih ramah terhadap segala peluang pengembangan properti. Mereka mulai melirik kawasan sub urban Jakarta, seperti Cikarang di Bekasi, Jawa Barat, dan Serpong, di Banten.
Adalah Marubeni Corporation yang mengawali pergeseran orientasi investasi ini. Bersama dengan Manunggal Group, pada 1990, Marubeni membentuk perusahaan bertajuk Megalopolis Manunggal Industrial Development guna membesut MM2100. Ini merupakan sebuah kawasan industri seluas 805 hektar. Terdapat 170 perusahaan manufaktur dan bisnis terkait yang sudah beroperasi di sini.
Aksi strategis Marubeni menggoda sesama pengembang Jepang lainnya. Menurut data Leads Property Indonesia, Sumitomo yang sudah memiliki portofolio perkantoran vertikal di kawasan Segi Tiga Emas Jakarta, pada 1996 menggandeng Lippo Cikarang dan Spinindo Mitradaya guna membangun East Jakarta Industrial Park (EJIP).
Berbeda dengan perusahaan Jepang lainnya, Itochu dan Sojitz justru menggarap hunian tapak yang saat itu belum banyak dilirik. Mereka mengajak Sinarmas Land melansir Kota Wisata di Cibubur. Tak hanya itu, bersama mitra lokal yang sama, Sojitz juga mengembangkantownship development Kota Deltamas seluas lebih kurang 3.000 ha dan kawasan industri Greenland International Industrial City (GIIC) seluas 1.300 ha.
Sedangkan Itochu mendapat konsesi untuk “menguasai” lahan seukuran 1.200 ha guna dimanfaatkan sebagai Karawang International Industrial City (KIIC).
Lain lagi dengan Kajima Corporation yang bersama perusahaan domestik membidani kelahiran Senayan Trikarya Sempana. Mereka tidak latah membebek jejak pionir kawasan industri, justru mendekati Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pengelolaan Kawasan Gelora Bung Karno untuk membangun superblok Senayan Square dengan ikon pusat belanja mewah, Plaza Senayan, dan hotel Fairmont.
Fenomena “diaspora” itu kemudian berkembang ke sektor atau jenis properti lainnya. Seperti perhotelan, resorr, residential dan lain-lain. Lokasi pengembangan juga mulai terdistribusi ke seluruh Indonesia, mulai Batam, Bintan, Karimun, Bali, Surabaya hingga Manado.