Tak berlebihan jika PM Lee Hsien Loong sampai berkata, "Lee Kwan Yew was a Singapore". Ya, Singapura identik dengan pria kelahiran 1923 tersebut.
Keberaniannya, pandangan ke depan dan usaha mengubah Singapura, dari sebuah negara kota kecil, dirancang menjadi yang paling diperhitungkan, diakui berbagai kalangan. Dia berhasil mengatur semenanjung ini dengan pembangunan infrastruktur, perumahan rakyat, penyediaan air bersih layak minum, hingga penyediaan ruang-ruang terbuka hijau.
"Dialah sosok sentral di balik banyak perencanaan dan desain inovatif perkotaan Singapura. Inovasi ini telah meningkatkan kualitas hidup, dan kehidupan warga Singapura selama tiga generasi. Lee juga telah menginspirasi banyak kota di seluruh dunia," ujar John Clancy Powers, periset dari The Lee Kwan Yew Center for Innovative Cities.
Prestasi Lee juga diakui kontributor Forbes, Joel Kotkin. Menurutnya rekam jejak Lee tidak hanya menjadi perdana menteri terlama dalam sejarah, 1959-1990, melainkan singularitas dan daya tahan prestasinya. Sejak negeri mungil ini merdeka, hingga sekarang, dia berhasil menyulap Singapura menjadi kota paling sukses dan terbaik di dunia.
"Lee telah menciptakan sebuah sistem politik baru yang dikombinasikan dengan program sedikit sosialis dengan strategi pembangunan yang ditujukan menarik modal asing dan membangun sektor manufaktur. Bersama Partai Aksi Rakyat yang dipimpinnya, dia fokus pada pengembangan infrastruktur modern, mulai dari pelabuhan, jalan, hingga sarana pendidikan yang saya nilai tak ada duanya," tutur Joel.
Program Nasional Lee itu dilakukan pasca "pertarungan sengit" dengan Malaysia pada 1965. Saat negara-negara baru lahir didera pertikaian internal antara faksi konservatif dan komunis, Singapura justru mulai membangun hingga kemudian mampu meraup pendapatan per kapita 2.667 dollar AS per 1990.
Namun, dari sekian banyak rekam jejak yang telah ditorehkan Lee, paling fenomenal adalah dibangunnya Badan Perumahan Nasional atau Housing Development Board (HDB). Kehadiran HDB berhasil menghilangkan permukiman kumuh dan merelokasi penghuninya ke blok-blok apartemen yang kecil tapi bersih, dan modern.
Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, HDB bahkan menjadi tulang punggung percepatan pembangunan ruang kota. Saat ini tingkat kepemilikan rumah di Singapura tertinggi didunia, yaitu 90,5 persen pada tahun 2013.
"Pembangunan perumahan rakyat vertikal digabungkan dengan perencanaan terintegrasi fasilitas dan utilitas publik, menjadi ciri utama Singapura sebagai kota modern," kata Bernardus kepada Kompas.com, Senin (23/3/2015).
Mahzab
perencanaan kawasan diterjemahkan dalam urban design guidelines yang sangat detail. Rancangan jalan, fasilitas publik seperti sekolah, taman dan pasar, diimplementasikan dengan standar dan rasio yang ketat. Hasilnya, Singapura menjadi salah satu kota dengan tingkat kenyamanan tertinggi di dunia.Demikian halnya saat pasar properti Asia tengah memanas pada kurun 2012-2014, HDB telah berperan membantu menjaga harga dan biaya perumahan Singapura jauh lebih masuk akal dibandingkan harga perumahan di kota-kota utama Tiongkok, Hongkong, atau Tokyo.
Lantas, apa yang bisa dipetik dari peran dan kontribusi Lee Kwan Yew bagi pengelolaan kota sebesar Jakarta, Indonesia?
"Dikerjain"
Urbanis Indonesia, Bambang Eryudhawan, mengatakan, ada banyak yang bisa dipetik dari kepemimpinan Lee Kwan Yew, dan perancangan serta tata kota Singapura. Meskipun konsep Singapura adalah negara kota (city state)."Karena city state, maka kota dikelola sebagai negara. Akibatnya tentu akan masif sekali, karena kegagalan kota identik dengan kegagalan negara. Berbeda dengan Indonesia, kegagalan kota tak dianggap langsung sebagai kegagalan negara," ujar Yudha, panggilan akrab Bambang Eryudhawan.Dengan begitu, perencanaan (planning) menjadi penting. Karena kegagalan planning kota berarti kegagalan negara.
"Sementara sikap kita di sini, planning ya sebatas planning yang so so, toh tidak berdampak langsung pada kegagalan negara. Jadi jangan heran Jakarta jauh ketinggalan dibanding Singapura. Karena Jakarta lebih sering dianggap sebagai provinsi, bukan ibu kota. Pemerintah pusat tak memiliki power di Jakarta, kan aneh," tandas Yudha.
Untuk itu, lanjut dia, sebagai kota, tentu saja Singapura dapat jadi model, tetapi janganlah mencontoh langsung yang tampak secara visual. Lebih dari itu, harus dipelajari sistem kerjanya. Yudha menyebutkan, bagaimana kemudian Urban Redevelopment Authority (URA) beroperasi, menjalankan proses perizinan, dan kuatnya otoritas HDB, dan lain sebagainya tanpa bisa direcoki swasta.
"Sebaliknya dengan Jakarta, justru
sering terpana pada yang tampak. Terpukau pada kota macam Tokyo, New York, dan lain-lain sehingga maunya seperti mereka. Akan tetapi kita lupa bahwa yang tampak itu harus didukung sistem kota yang baik," cetus Yudha.Makanya, kata Yudha, Jakarta sering dikerjain pengembang. Sementara kota dan pengelolanya gagal mempelajari sistem perencanaannya. Gedung-gedung bagus, tapi infrastruktur berantakan. Begitu juga kualitas hidup, dan layanan publiknya buruk, karena ditarik melulu ke arah komersial.
Bernardus menambahkan, para pemimpin dan manajer kota Jakarta, dan Indonesia perlu belajar dari cara Lee Kwan Yew mengintegrasikan kebijakan, teknik perencanaan yang mumpuni, pemberdayaan masyarakat, yang ditunjang dengan manajemen keuangan dan pemerintahan yang relatif kecil korupsinya."Jadi bagi Indonesia, topiknya harus menjadi Perencanaan Ruang dan Pembangunan Wilayah yang berbasis pemanfaatan ruang yang efektif. Fokus pada penciptaan gula-gula pertumbuhan ekonomi. Untuk itu melalui kementerian dan badan badan baru, harus fokus pada perencanaan kota-kota dan pembangunan wilayah yang holistik, berbasis peningkatan nilai tambah (value creation) dan mengutamakan skenario pembangunan terintegrasi," pungkas Bernardus.