JAKARTA, KOMPAS.com – Sangat sulit menemukan area parkir di kompleks rusunami Kalibata City, sesulit menemukan jarum di tumpukan jerami. Bukan isapan jempol pula untuk bisa ke luar kawasan apartemen ini pada jam sibuk pukul 06.00-08.00 WIB pagi, butuh waktu 30 menit hingga satu jam.
Kompas.com berkesempatan melakukan pantauan langsung di lokasi pada Jumat (23/1/2015). Puluhan mobil terlihat berjajar menyesaki lahan parkir rusunami yang berada di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan tersebut.
Tambahan lahan parkir bawah tanah rupanya tak membuat rusunami di atas lahan seluas 12,5 hektar ini menampung seluruh kendaraan milik penghuni. Kapasitas lahan parkir tidak memadai dibandingkan jumlah kendaraan.
“Kalau malam mau parkir, mobil tuh mepet banget. Batas antar-mobil bahkan sampai gak ada,” ujar salah satu penghuni Herbras Tower, Kalibata City, Gita Hapsari.
Meskipun ada aturan bahwa jumlah mobil yang diperbolehkan parkir hanya satu unit per lima unit rusunami, rupanya pada kenyataannya tidak demikian. Implementasi aturan sangat sulit untuk dikontrol.
Gita menjelaskan, kebanyakan penghuni rusunami ini membawa kendaraan, khususnya mobil, hingga dua atau lebih. Inilah yang membuat lahan parkir menjadi penuh.
“Sebenarnya ini bukan salah pengelola Kalibata City. Rusunami ini kan memang awalnya diperuntukkan bagi kalangan yang tidak punya mobil,” lanjut Gita.
Kepemilikan mobil lebih dari satu tersebut menjadi faktor yang menunjukkan betapa penghuni Kalibata City saat ini bukanlah segmen pasar tepat yang dituju. Rusunami tersebut awalnya dirancang dan ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Sementara, pemilik dan penghuni yang mendiami Kalibata City justru memiliki penghasilan sekitar Rp 5 juta hingga Rp 20 juta per bulan.
Ketua Umum Asosiasi Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Eddy Ganefo, mengatakan bahwa penjualan Kalibata City tak sesuai tujuan awal. Saat ini, sudah sulit menemukan MBR tinggal di rusunami tersebut.
“Ya realitanya seperti itu. Katanya rusunami, ternyata dipakai untuk kalangan menengah ke atas dan warga asing. Itu kan tidak sesuai tujuan. Seharusnya itu untuk MBR,” ujar Eddy.
Sekarang ini, lanjut Eddy, sudah tidak mungkin rusunami tersebut diperuntukkan bagi MBR. Pasalnya, seluruh hunian di Kalibata City telah terjual, dan sebagian besar di antaranya dijadikan instrumen investasi.
Unit-unit rusunami yang menjadi instrumen investasi ini bisa dijual kembali dengan kisaran harga Rp 300 juta hingga Rp 500 juta untuk tipe terkecil. Sedangkan untuk penyewaan, harganya mencapai Rp 40 juta per tahun.
Marketing Agung Podomoro Group, selaku pengembang Kalibata City, Alvin Andronicus, membenarkan bahwa seluruh unit rusunami tersebut telah terjual. Baik yang berada di kompleks Kalibata Residence maupun Kalibata Regency.
“Sudah terjual semua, kalau dihitung sudah 12 ribu unit. Hanya, sudah tiga tahun kita tak memantau pengelolaan Kalibata City,” ujar Alvin.
Terbagi menjadi dua kompleks, Kalibata Residence dan Kalibata Regency, Kalibata City telah dipasarkan sejak sejak Mei 2008. Saat itu, Kalibata Residence dibanderol dengan harga Rp 144 juta untuk tipe dua kamar tidur dan Rp 88 juta untuk tipe satu kamar.
Sedangkan Kalibata Regency dipasarkan dengan harga per unit mulai Rp 100 juta. Harga murah tersebut dimungkinkan karena saat itu, masih ada subsidi yang diberikan oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan harapan dapat menampung MBR untuk mendiaminya.
Warga Asing
Selain kelas menengah, Kalibata City rupanya juga dihuni oleh warga asing. Kompas.com melihat beberapa warga asing berlalu lalang di areal Kalibata City. Gita menuturkan, beberapa warga asing memang menyewa, dan menempati hunian tersebut.
“Mereka (warga asing) sering mabuk-mabukan dan melakukan hal aneh di sini. Saya sempat takut kalau pulang ke rumah larut malam dan gak ada orang. Tapi tidak semuanya, banyak juga yang biasa saja perilakunya,” ujar Gita.
Penghuni lain Kalibata City, Adit yang tinggal di Cendana Tower, menjelaskan bahwa dirinya memang sering melihat warga asing dengan berbagai jenis kebangsaan, Timur Tengah, kulit hitam, hingga Tiongkok.
“Di sini memang sangat heterogen ya, macam-macam orang ada. Gak cuma orang Indonesia saja,” ujar Adit.
Menanggapi fenomena ini, Eddy menjelaskan bahwa warga asing yang berada di Kalibata City tidak serta merta membeli rusunami tersebut. Mereka biasanya membeli kembali rusunami yang dijual atau disewakan.
“Pengembang hanya menjual saja, ya siapapun yang bisa membeli akan diterima. Hal ini yang menjadikan rusunami dijadikan investasi untuk disewakan atau dijual kembali, juga kepada warga asing. Seharusnya pemerintah membuat aturan untuk tidak memberikan akad kredit bukan kepada MBR,” tandas Eddy.
Pihak pengelola Kalibata City belum mau menanggapi permasalahan ini. Saat ditemui, mereka menolak memberikan konfirmasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.