Beberapa di antaranya yang menyita perhatian publik terjadi di Jakarta yakni sengketa antara konsumen dengan pengembang apartemen Kemanggisan Residences, PT Mitra Safir Sejahtera, dan Pengurus Pengelola Rumah Susun (PPRS) dengan pengembang apartemen Cempaka Mas, PT Duta Pertiwi Tbk.
Sementara di Bali, didominasi kasus pailit. Dua di antaranya terkait dengan kondominium hotel Bali Kuta Residences, dan Aston Denpasar.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, mengatakan, kasus hukum sektor properti yang diadukan konsumen kepada YLKI terus meningkat. Tahun 2014, menempati urutan kedua terbanyak setelah keuangan dan perbankan.
"Tak hanya peningkatan jumlah pengaduan, susbtansi pengaduan pun semakin variatif. Jika pada beberapa tahun lalu substansi pengaduan sebagian besar terkait rumah tapak (landed house), kini terkait hunian vertikal baik pribadi maupun komersial (kondotel)," papar Sudaryatmo kepada Kompas.com, Sabtu (4/1/2015).
Dia memaparkan, permasalahan di sektor properti demikian kompleks dan rumit. Bahkan bisa terjadi pada tahap pra konstruksi, konstruksi, dan setelah properti terhuni. Dari catatan YLKI, kata Sudaryatmo, masalah paling banyak terjadi pada tahap penghunian.
"Pada tahap penghunian ini seringkali terjadi pengembang dan pengelola properti tidak transparan dalam mengelola keuangan sehingga konsumen dan penghuni tidak puas dan mengadukannya kepada kami," tutur Sudaryatmo.
Masalah lainnya adalah keterlambatan serah terima kunci atau delay on delivery. Di sini, pengembang tidak memegang komitmen sesuai yang dijanjikan kepada konsumen. Selain itu, bukti kepemilikan properti juga kerap menjadi masalah karena pengembang terlambat menyerahkannya kepada konsumen. Padahal, konsumen sudah membayar lunas properti yang dibelinya.
Langkah pencegahan
Dari sekian banyak kasus tersebut, Sudaryatmo menengarai bahwa calon konsumen sangat tidak peduli akan hak dan kewajibannya. Mereka baru sadar ketika ada masalah. Untuk itu, kata Sudaryatmo, calon konsumen hendaknya berhati-hati dan teliti sebelum memutuskan untuk membeli properti. Dia menyarankan calon konsumen untuk melakukan beberapa langkah preventif.
"Pertama, cek dan teliti aspek legalitas. Calon konsumen harus memastikan perizinan dan legalitasnya. Tanah harus sudah dikuasai pengembang sesuai peruntukannya dan tidak sedang dalam sengketa yang dibuktikan oleh sertifikat hak milik (SHM)," terang Sudaryatmo.
Setelah kepastian kepemilikan tanah diketahui, tambah dia, calon konsumen juga harus mengecek Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) yang tidak bertabrakan dengan peruntukan dan Peraturan Daerah (Perda) mengenai Tata Ruang.
Selanjutnya, calon konsumen harus memastikan bahwa proyek yang dibangun pengembang bersangkutan harus memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). "IMB sangat penting karena merupakan kunci terbangunnya sebuah properti," imbuh Sudaryatmo.
Aspek kedua yang harus diperhatikan calon konsumen adalah pengetahuan mengenai hukum properti. Sudaryatmo menekankan bahwa calon konsumen harus mempelajari klausul Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
"Konsumen baru ngeh kalau klausul yang tercantum dalam PPJB berat sebelah. Sebelum menandatangani PPJB, calon konsumen harus menyadari hak dan kewajibannya, serta hak dan kewajiban pengembang," tandas Sudaryatmo.
Selama ini, kata dia, calon konsumen membeli properti berdasarkan "rayuan" yang tertulis dalam iklan dan brosur. Padahal, iklan dan brosur tidak mengikat dan tidak termasuk dalam under contractual term. Sehingga jika pengembang tidak memenuhi apa yang tertulis dalam iklan dan brosur, tidak ada kewajiban yang harus mereka penuhi.
Presiden Direktur Tony Eddy and Associates, Tony Eddy, menambahkan, pentingnya calon konsumen untuk berhati-hati dalam membeli properti, termasuk kondotel yang sedang menjadi tren investasi.
"Ada lima "C" yang harus diperhatikan calon konsumen sebelum membeli kondotel. "C" pertama adalah Character yang menyangkut reputasi dan rekam jejak pengembang. Apakah pengembang bisa dipercaya dan punya sejarah bersih dan bagus," kata Tony.
"C" kedua adalah Capital yang terkait dengan kecukupan modal pengembang untuk membangun sebuah kondotel. Modal ini sangat penting dalam menentukan kelancaran pembangunan konstruksi kondotel.
"C" ketiga, kata Tony, adalah Capacity, yakni kapasitas pengembang yang mumpuni untuk menjalankan proyek tersebut. Ini berkaitan juga dengan rekam jejak dan kemampuan pengembang dalam membangun.
"Concept merupakan "C" keempat. Konsep kondotel yang ditawarkan harus jelas dengan luasan per unit, besaran harga, pengelola, lokasi dan skema bagi hasilnya. Apakah masuk akal? Atau justru sebaliknya irasional," ujar Tony.
"C" terakhir adalah Condition. Kondisi pasar sangat menentukan tingkat serapan untuk bisnis kondotel. "Terlebih saat ini, apakah kondisi pasar masih kondusif dan ada demand untuk kondotel. Jika tidak memungkinkan lebih baik ditunda, sebaliknya jika semua 5C tersebut oke, maka aman untuk membeli kondotel," tegas Tony.
Melihat pasar kondotel yang sering tidak jelas, terlebih janji-janji pengembalian investasi atau return on investment (ROI) yang marak belakangan ini, Tony setuju jika pemerintah mulai melakukan penertiban.
"Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus masuk untuk mengawasi penjualan kondotel. Sehingga jelas mana yang menipu mana yang tidak. Juga YLKI, dinas perpajakan, serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus mulai menaikkan "radar antena" mereka untuk memantau pasar kondotel agar lebih tertib, sehat dan kondusif," pungkasnya.