JAKARTA, KOMPAS.com - Tak dimungkiri, Indonesia saat ini mengalami pertumbuhan pesat yang ditandai maraknya pembangunan gedung-gedung bertingkat baik untuk perkantoran maupun hunian.
Namun demikian, tak seluruhnya gedung-gedung yang dikembangkan tersebut berkualitas tinggi. Terlebih jika hanya dikerjakan asal-asalam. Para pelaku konstruksi, terutama pengembang, arsitek, dan kontraktor tidak boleh mengabaikan kualitas gedung dan hanya mengejar "target".
Ketua Himpunan Alhi Konstruksi Indonesia (HAKI) Dradjat Hoedajanto, mengemukakan hal itu dalam seminar Hari Bangunan Indonesia, di Hotel Mulia, Jakarta, Kamis (30/10/2014).
"Pelaku konstruksi jangan hanya kejar "target". Tidak boleh dapat proyek, lalu sudah. Tapi, harus terus mengembangkan kemampuan konstruksi," ujar Dradjat.
Drajat menjelaskan, pelaku konstruksi juga harus terus melakukan studi dan investegasi bangunan. Sehingga, masalah kerusakan bangunan dapat ditekan seminimal mungkin. Saat ada kerusakan yang sekiranya fatal, pelaku konstruksi harus segera melakukan retrofit, yakni memperbaiki struktur bangunan dengan menambahkan peralatan atau teknologi tertentu, tanpa harus mengubah bangunan itu sendiri.
Di sisi lain, gedung yang terus bertambah, kata Dradjat, juga tidak diimbangi dengan perawatan yang maksimal.
"Untuk perawatan, ini buruk sekali di negara kita. Kita senang sama (gedung) yang baru-baru. Tapi kemudian maintenance gedung lama dilupakan. Padahal perawatan itu penting," sebut Drajat.
Dia menambahkan, pentingnya perawatan dapat berpengaruh terhadap keberlangsungan suatu gedung. Jika tidak dirawat, dapat dipastikan gedung tersebut akan berkurang kualitasnya dari segi fisik.
Bangunan roboh karena gempa
Sementara itu, kurangnya perhatian pelaku konstruksi terhadap satu gedung juga akan berdampak buruk. Misalnya saja, jika struktur bangunan berada di lingkungan yang tidak cocok, maka akibatnya akan mengkhawatirkan.
"Tanah Indonesia ini bervariasi, tetapi sebagian besar tanahnya lunak. Indonesia juga masuk wilayah gempa," kata Dradjat.
Aspek geologi dan geoteknik ini, menurut Dradjat, perlu dipahami oleh perlaku konstruksi. Karena, kebanyakan pembangunan gedung hanya bertumpu pada SNI 1726:2012, yakni tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung.
Dradjat menganggap ketentuan tersebut tidak menjamin suatu gedung akan tahan gempa. Karena, risiko gempa lebih tinggi daripada ketentuan tersebut.
"Kegagalan bangunan akibat gempa terus terjadi dan berulang. Bukan gempanya yang berulang, tapi rusaknya bangunan. Nanti bangunan dibangun kembali. Saat kena gempa, hancur lagi. Begitu saja terus," kritik Dradjat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.