Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

IKEA dan Courts Bersaing, Peritel Lokal Tersingkir?

Kompas.com - 19/10/2014, 16:43 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Hadirnya peritel asing, IKEA dan Courts, menghentak peritel lokal. Pasalnya, pengecer mancanegara tersebut hadir dengan kekuatan pada desain, servis (layanan pra dan purna jual), kelengkapan produk, merek yang menjual, serta harga yang kompetitif.

Peritel lokal yang selama ini merasa sudah paling bagus, terpaksa harus memperbaiki semua hal agar bisa bersaing dengan IKEA dan Courts dan pangsa pasarnya dapat dipertahankan.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Tutum Rahanta, mengomentari kehadiran IKEA dan Courts serta daya saing peritel Indonesia, kepada Kompas.com, Minggu (19/10/2014).

"Nah, dengan kondisi aktual seperti itu, di mana Indonesia tidak bisa menolak kehadiran mereka karena regulasi sudah demikian (given), peritel lokal harus lebih kreatif untuk bisa bersaing. Kalau ingin bertahan dan bukan sekadar jadi penonton ya meningkatkan kemampuan dan daya saing," kata Tutum.

Dia melanjutkan, selain pelaku bisnis dan industri ritel harus memperbaiki diri, pemerintah juga hendaknya membantu dalam berbagai hal. Termasuk proteksi terhadap peritel lokal agar dapat terus tumbuh kuat.

"Jika semua bersinergi, dan peritel lokal punya daya saing tinggi seharusnya bisa bertahan. Terlebih jika kreativitasnya ditingkatkan, dan mampu menciptakan pangsa pasar baru. Saya yakin barang-barang kita pasti dicari," tambah Tutum.

Hal senada dikatakan Head of Research Savills PCI, Anton Sitorus. Menurutnya kemungkinan peritel lokal tersingkir karena ekspansi peritel asing macam IKEA dan Courts tidak akan terjadi.

"Karena masing-masing punya segmentasi pasar yang berbeda-beda," katanya.

Pasar besar

IKEA dan Courts hadir di Indonesia karena negara ini punya potensi besar. Ditandai faktor demografi yang didominasi usia produktif rerata 28 tahun sebanyak 55 juta orang, dengan pendapatan yang terus bertumbuh dan diprediksi mencapai 15.000 dollar per tahun dalam 10 tahun ke depan. Sehingga Indonesia dianggap sebagai generator pasar ritel di kawasan Asia Tenggara.

JLL Asia Pasifik melaporkan, Indonesia juga mengalami perubahan tren yang memengaruhi strategi pebisnis ritel. Misalnya, di Jakarta. Tingkat hunian pusat belanja di ibu kota ini tinggi, karena pasokan terbatas. Moratorium pembangunan mal berdampak besar terhadap ketersediaan pasokan dan lonjakan harga sewa.

"Hal tersebut juga menguji strategi bisnis peritel untuk secara tradisional membangun di lokasi inti demi brand awareness sebelum kemudian memperluas bisnis di kota lainnya," tulis JLL dalam riset Retail Cities in Asia Pacific.

Technical Advisor Retail JLL, James Austen, menuturkan, meskipun Jakarta mengalami kendala buruknya kondisi lalu lintas, tetap menjadi tantangan menarik bagi peritel. Mereka berlomba membuka gerai-gerai mewah, restoran, kafe dan busana bermerek asing.

"Pusat perbelanjaan terbaik di Jakarta menikmati tingkat hunian mengesankan, yang saat ini rata-rata sekitar 93 persen, meski kemudian melambat pada akhir tahun," imbuh Austen.

Hasil lain dari moratorium mal di Jakarta adalah terciptanya momentum pertumbuhan ritel di daerah periferial ibukota, terutama Bekasi di timur, Sentul dan Bogor di selatan dan Puri Indah di barat. Faktor penarik ini meyakinkan pengecer lebih ambisius untuk menggarap pasar ritel di pinggiran kota.

Proses desentralisasi peritel ini didukung oleh bermigrasinya konsumen kelas menengah yang menghindari kemacetan CBD Jakarta dan mencari kualitas hidup yang lebih baik di daerah pinggiran. Mereka tertarik relokasi ke pinggiran karena terkoneksi fasilitas transportasi, jalan tol baru, dan jalan arteri utama yang menghubungkan CBD dengan daerah pinggiran.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com