Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/08/2014, 16:55 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

DEPOK, KOMPAS.com — Pemilihan wali kota Depok, Jawa Barat, masih enam bulan lagi, yakni Februari 2015. Namun, sejumlah nama sudah santer terdengar akan mengisi bursa pemilihan. Dari sejumlah nama itu, termasuk di antaranya istri wali kota petahana Nurmahmudi Ismail, Nur Azizah Tahmid, dan Tiffatul Sembiring.

Satu yang pasti, siapa pun nanti yang terpilih sebagai pemimpin kota dengan populasi 1,75 juta jiwa tersebut seharusnya bisa menjadi pengelola atau manajer yang baik. Wali kota baru harus bisa melayani dan mencukupi kebutuhan warganya.

Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro mengatakan hal tersebut kepada Kompas.com, Senin (25/8/2014).

Menurut dia, Depok tidak akan bertransformasi menjadi lebih bagus, kecuali pemimpinnya seorang visioner yang dapat membawa perubahan signifikan. Perubahan tersebut adalah Depok menjadi kota yang nyaman dan layak huni bagi warganya dengan pemenuhan kategori-kategori, seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, transportasi publik, penataan ruang, rumah dengan harga terjangkau, serta kedekatan dan kemudahan mengakses fasilitas.

"Di bawah kepemimpinan wali kota sekarang, Depok hanya menjadi kota yang biasa-biasa saja dengan standar hidup warga apa adanya. Padahal, potensinya banyak dan bagus, serta luar biasa kalau dieksplorasi dengan baik," ujarnya.

Meskipun Indeks Pembangunan Manusia (IPM)-nya tinggi, dan masuk tiga besar secara nasional yakni 77,14, tetapi itu tidak merepresentasikan Depok sesungguhnya.

"Angka IPM itu misleading. Dia hanya mewakili sejumlah kalangan terpelajar yang memang banyak terdapat di Depok sebagai gudangnya perguruan tinggi. IPM tidak menyentuh penduduk asli Depok yang justru semakin tersingkirkan akibat kebijakan-kebijakan yang bersifat dormitory town bagi Jakarta," tandas Bernardus.

Saat ini saja, tambah Bernardus, Depok hanya dikembangkan sebatas kota tempat tinggal untuk warganya yang justru bekerja di Jakarta (dormitory town). Pemerintah Kota Depok tidak mampu secara strategis memberikan kesempatan kerja bagi warganya supaya tidak menjadi komuter berjemaah.

"Dengan kata lain, Depok gagal menjadi kota mandiri yang sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri (self sufficient). Depok masih mengemis dari Jakarta," imbuh Bernardus.

Ke depan, Bernardus tidak yakin Depok akan berubah. Infrastruktur kota tidak akan lebih baik, kualitas jalan juga sama saja. Demikian halnya dengan penataan ruang sporadis yang hanya mengamini izin pembangunan pusat belanja dan properti komersial lainnya.

"Perubahan besar akan terjadi bila visi wali kota baru merancang Depok sebagai kota berbasis kekinian dan potensi yang ada. Kekinian dan potensinya berupa apa? Teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai modal besar kota ini. Berserakannya perguruan tinggi seharusnya dimanfaatkan untuk menghasilkan riset kualitas unggul yang menjadikan Depok menjadi kota yang lebih kreatif, pintar, dan efisien," pungkasnya.

Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, Wali Kota Depok Nurmahmudi Ismail tidak mengangkat sambungan telepon dan tidak menjawab pesan singkat yang disampaikan Kompas.com.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau