Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akhir Pekan di Bogor, "Neraka" Bagi Warganya

Kompas.com - 18/05/2014, 13:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

BOGOR, KOMPAS.com -  Sama dengan Bandung, kota Bogor tiap akhir pekan adalah "neraka" bagi warganya. Hampir seluruh ruas jalan di pusat kota dipenuhi kendaraan berplat nomor B (Jakarta) atau dari luar kota lainnya seperti Sukabumi, Cianjur, Bekasi, Depok, dan Tangerang. 

Kemacetan yang terjadi setiap hari, bertambah parah pada Sabtu dan Minggu. Bukan itu saja, kemacetan juga mengalami penetrasi atau perluasan wilayah. Jika dulu terkonsentrasi di pusat bisnis dan komersial sepanjang Jl Ir H Juanda, Jl Merdeka, Jl Pajajaran, dan Jl Suryakencana, kini menyebar ke koridor lapis kedua seperti Jl Empang, Jl Siliwangi, Jl Sukasari, Jl Ciheuleut, Jl Pahlawan, Jl Jalak Harupat, Jl Pancasan, dan Jl Gunung Batu. 

"Kemacetan adalah masalah krusial nomor satu yang hingga kini belum juga dapat diurai oleh pemerintah kota dengan pimpinan baru. Belum ada gebrakan yang membuat warga "ngeh". Selama satu bulan Bima Arya memimpin, belum ada perubahan masif dan signifikan selain jadi sosialita dadakan dan bikin Bogor jadi makin terkenal," ujar Pemilik Studio Kata Kreatif yang berbasis di Bogor, Adenita Yusminovita terkait kinerja Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto selama sebulan memimpin, kepada Kompas.com, Minggu (18/5/2014).

Padahal, lanjut Adenita, pertumbuhan Kota Bogor sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini ditandai dengan kegiatan bisnis, komersial, jasa dan perdagangan yang berlangsung aktif. Bogor telah mengalami transformasi luar biasa sebagai dampak aktivitas bisnis dan komersial tadi. 

"Gerai-gerai distributor outlet atau distro dan kedai-kedai kuliner, yang tersebar di beberapa koridor khususnya Jl Ciheuleut dan Jl Pajajaran menarik banyak turis domestik. Koridor tersebut menjadi padat pengunjung dan kendaraan. Seharusnya ditata lebih rapi," urai Ade. 

Sayangnya, menurut Erlin Susana, ibu rumah tangga yang bekerja di perusahaan otomotif, tak terlihat perbaikan dalam mengatasi kemacetan yang dilakukan wali kota baru. "Saya tidak tahu apakah masih dalam proses atau bagaimana. Yang jelas kemacetan Bogor tambah parah hingga ke jalur perbatasan dengan Kabupaten Bogor seperti Jl Raya Ciapus," tandasnya. 

Kemacetan juga dinilai sangat menghambat produktivitas warga Bogor. Dadan Supratman yang setiap hari ulang alik Bogor-Jakarta, harus menempuh perjalanan selama dua jam menuju kantornya di Jakarta. "Ini kontraproduktif dan ekonomi biaya tinggi. Karena macet di kota Bogor tidak hanya disebabkan banyaknya kendaraan terutama angkutan kota (angkot) melainkan juga buruknya infrastruktur. Jalan yang berlubang lebih banyak daripada jalan yang diperbaiki. Wali kota hanya diam tak beraksi apa-apa," keluh pria yang bekerja di PT Fajar Tri Insani ini.

Selain kemacetan, masalah krusial lainnya yang mendesak diperbaiki adalah jalur pedestrian, zonasi peruntukan wilayah kota, dan kebersihan. Menurut Adenita, kota Bogor telah berubah menjadi destinasi wisata alam, kuliner, dan "fashion".

"Seharusnya wali kota menyadari potensi ini dan membuat zonasi peruntukan sesuai dengan potensi yang ada. Bikin program menyeluruh dan efektif sehingga perkembangan yang terjadi sesuai peruntukan. Jangan cuma memperhatikan pelebaran jalan menuju Pasar Anyar, itu pun belum tentu merupakan terobosan baru bisa jadi hanya meneruskan program wali kota lama," imbuhnya. 

Pendek kata, baik Adenita, Dadan maupun Erlin sepakat bahwa belum ada perubahan nyata di Bogor saat dipimpin penguasa baru. Macet, semrawut, buruknya kondisi infrastruktur masih menjadi identitas yang melekat pada kota hujan ini selain, tentu saja tahbis sebagai "kota sejuta angkot".


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau