Seperti diungkapkan Quartz, kecenderungan menyewa rumah di Jerman sebenarnya sudah bermula sejak akhir 1930-an hingga 1940-an. Tepatnya, setelah 20 persen pasokan perumahan Jerman berakhir menjadi puing.
Saat itu, sebanyak 2,25 juta rumah hancur, sebanyak 2 juta rumah lainnya rusak. Lebih lanjut, sensus 1946 menunjukkan adanya tambahan kebutuhan 5,5 juta perumahan di wilayah yang akan menjadi bagian dari Jerman Barat.
Bak jatuh tertimpa tangga, gamangnya kondisi perumahan di Jerman disusul oleh kondisi perekonomian Jerman saat itu juga sulit diharapkan. Quartz mengungkapkan, Jerman tidak memiliki cadangan pembiayaan sama sekali.
Nilai mata uang negara itu juga anjlok. Jerman harus bangkit dengan menyediakan solusi yang tepat. Pemerintahnya harus hadir dan membuat program.
Di sisi lain, kondisi politik saat itu pun masih tegang. Para pemimpin takut akan bangkitnya fasisme. Tingginya jumlah pengangguran juga membawa bayang-bayang ketakutan akan komunisme.
"Jumlah pemilih (voters) komunis di negara-negara Eropa berbanding terbalik dengan jumlah unit rumah per seribu penduduk," kata Menteri Perumahan Rakyat Jerman Barat pertama, Eberhard Wildermuth.
Menariknya, ketakutan itu justeru menghasilkan program perumahan yang didesain untuk memberikan manfaat seluas mungkin bagi masyarakat. Program perumahan tersebut, secara bersamaan, akan membuat masyarakat Jerman kembali bekerja dan mengurangi tekanan akibat krisis perumahan.
Langkah pemerintah Jerman berhasil. Pembangunan hunian meledak di Jerman. Subsidi langsung, pembebasan pajak besar-besaran pun tersedia untuk umum, perusahaan non-profit, dan swasta. Jerman Barat berhasil memangkas setengah backlog-nya pada 1956. Lantas, pada 1962, backlog turun drastis hingga mencapai 658.000. Pasokan hunian sebagian besar bentuknya sewa.
"Mengapa, karena hanya ada sedikit permintaan dari pembeli potensial. Pasar KPR Jerman begitu lemah dan bank membutuhkan peminjam untuk menurunkan uang mua berjumlah besar. Hanya sedikit penduduk Jerman yang punya cukup uang," ujar penulis, Matt Philips kepada Quartz.
Sewa murah
Bertahun-tahun setelah runtuhnya perekonomian Jerman, kini harga sewa rumah di negara tersebut tetap murah. Kebijakan pemerintah Jerman disebut "lebih seimbang" dari negara lain.
Quartz menyebutkan, pasar sewa masih diatur dengan kokoh oleh pemerintah, dan peraturan yang tersedia pun cukup menguntungkan bagi penyewa. Salah satu contohnya, hukum Jerman memungkinkan pemerintah negara bagian untung meng-cap rent peningkatan tidak lebih dari 15 persen selama periode tiga tahun.
Tak hanya harga yang mendorong masyarakat Jerman cenderung memilih hunian sewa. Pemerintah Jerman seolah memang tidak mendukung pemebelian rumah. Jerman tidak membiarkan pemilik rumah mengurangi pembayaran bunga KPR dari pajak. Selain itu, secara historis, kenaikan harga rumah di Jerman pun meningkat sangat lambat.
Tampaknya, Jerman bisa dijadikan contoh, bahwa harga tidak diserahkan begitu saja kepada pasar. Di sini pemerintah Jerman bisa melakukan intervensi untuk mengendalikan harga dan tarif sewa rumah. Negara juga mengatur struktur pajak sehingga keuntungan dari membeli atau menyewa rumah hampir sama. Bagaimana dengan Indonesia?