JAKARTA, KOMPAS.com — Jakarta sebagai kota tepi pantai (waterfront city) seharusnya bisa menata wilayah-wilayah unggulannya menjadi lebih berdaya. Salah satu kawasan yang dinilai memiliki potensi besar dan berkontribusi terhadap perubahan wajah ibu kota negara Indonesia jika ditata dengan baik adalah Tanjung Priok.
Kawasan ini dianggap sangat premium. Pasalnya, posisinya yang berada di tepi pantai adalah "mutiara" yang harus diasah sehingga bernilai jual tinggi. Tanjung Priok sudah sangat usang mengemban fungsinya sebagai pelabuhan sejak zaman Belanda.Principal Architects Atelier Cosmas Gozali, Cosmas D Gozali, menuturkan, potensi Jakarta sebagai waterfront city kelas dunia setara Kopenhagen, Denmark, saat penganugerahan iDEA Award Reader's Choice 2014, kepada Kompas.com, Kamis (17/4/2014).
Menurutnya, fungsi Tanjung Priok sebagai pelabuhan harus digeser jauh-jauh dari Jakarta. Pindahkan ke kawasan lainnya, misalnya ke Banten, pantai utara Jawa lainnya, atau bahkan ke tengah laut. Jakarta harus berubah secara radikal menjadi kota tepi pantai sekaligus pusat bisnis dan pariwisata tingkat dunia.
"Bukan saatnya lagi Jakarta bersaing dengan kota-kota domestik. Jakarta harus melihat Kopenhagen, Sydney, Dubai, dan lain sebagainya. Nah, kawasan-kawasan tepi pantai di kota-kota dunia tersebut nilai lahannya sangat tinggi sebab menjadi spot-spot wisata populer yang bisa diakses oleh seluruh warga dunia. Tanjung Priok pun seharusnya dirancang seperti Kopenhagen dan Sydney yang beken dengan Gold Coastnya," ujar Cosmas.
Jakarta, lanjut dia, tak cukup hanya memiliki Ancol, Pantai Mutiara, atau Pantai Indah Kapuk. Bentang pantai Jakarta sangat panjang, sekitar 32 kilometer, harus dibuat terintegrasi menjadi kawasan komersial, permukiman, dan tentu saja pariwisata terkemuka.
"Setelah fungsi Pelabuhan Tanjung Priok dipindahkan, situsnya bisa dimanfaatkan untuk pengembangan properti komersial, pusat bisnis, dan juga permukiman," katanya.
Caranya, kata Cosmas, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI bisa menyewakan lahan-lahan ini kepada investor swasta untuk dikelola dan dikembangkan secara komersial. Pemprov DKI memberikan mereka hak pengelolaan lahan (HPL) selama jangka waktu tertentu.
Nah, uang sewa dan pajak atas bangunan komersial terbangun serta transaksi bisnis yang terjadi di kawasan tersebut bisa dialokasikan untuk membangun rumah-rumah susun untuk kalangan miskin perkotaan.
"Ini yang seharusnya menjadi concern Pemprov DKI Jakarta dalam mengatasi kebutuhan hunian murah untuk rakyat," ujarnya.
Pemprov DKI Jakarta bukannya menutup mata. Mereka tengah mempertimbangkan gagasan tersebut dan menghitung kelayakannya memindahkan fungsi Tanjung Priok.
Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta, Sarwo Handayani, mengatakan, Tanjung Priok dengan perkembangannya yang sedemikian rupa akan "mencari" laut yang lebih dalam.
"Pelabuhan Tanjung Priok pasti akan digeser. Kami mempertimbangkannya ke laut dalam. Tentu dengan melakukan reklamasi," ujar Sarwo.
"Green belt"
Gagasan Cosmas mengenai pemindahan fungsi Tanjung Priok ini sebenarnya merupakan bagian dari proposal "Jakarta Waterfront City". Proposal tersebut termasuk dalam 40 gagasan terbaik di antara arsitek-arsitek Asia Tenggara mengenai konsep waterfront city. Atas idenya tersebut, Cosmas kemudian diundang ke Berlin untuk mempresentasikannya di sebuah simposium internasional.
Gagasan utama "Jakarta Waterfront City" adalah merancang green belt baru di luar Kota Jakarta. Green belt tersebut tidak hanya berkaitan dengan sarana fisik semata, seperti jalan dan infrastruktur, tetapi sabuk multifungsi (multilayer) yang bertumpu pada pemerataan ekonomi, menghubungkan kota penyangga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
"Green belt baru menekankan pada layer sebanyak tiga lapis di atas tanah untuk bangunan komersial dan residensial multifungsi dan jalan-jalan kendaraan. Area ini dibuat "membaur" agar mobilisasi manusia dan kendaraan bisa diperkecil. Salah satu dampak positif dari desain ini adalah lahan di bawahnya bisa dijadikan sebagai resapan air," paparnya.
Selain itu, Cosmas juga menyertakan pengembangan waduk buatan untuk menampung air hujan yang mengalir menuju Jakarta. Air tersebut akan ditampung di reservoir terlebih dahulu untuk kemudian dialirkan ke rumah-rumah tangga sebelum dibuang lagi hingga akhirnya mengalir ke laut. Konsep ini dinilai lebih mangkus dan sangkil ketimbang deep tunnel karena dimanfaatkan terlebih dahulu dan tidak langsung dibuang.
Cosmas optimistis, jika gagasannya ini diimplementasikan, masalah akut Jakarta, seperti macet, sampah (kotor), dan banjir akan teratasi dalam 20 hingga 35 tahun mendatang sehingga kualitas hidup warga Jakarta akan meningkat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.