Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Minim, Pasokan Rumah Bersubsidi di Timur Indonesia

Kompas.com - 22/03/2014, 15:47 WIB
Tabita Diela

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Belum turunnya keputusan dan persetujuan Menteri Keuangan atas harga baru rumah murah bersubsidi dan bebas pajak yang diajukan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera),  berdampak kontraproduktif. Setidaknya, itulah yang dirasakan oleh para pengembang rumah bersubsidi di Kawasan Timur Indonesia.

Ketua DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Eddy Ganefo mengungkapkan hal tersebut kepada Kompas.com, Sabtu (22/3/2014).

Menurut Eddy, pasokan rumah murah bersubsidi di seluruh Indonesia sangat rendah, termasuk di Kawasan Timur Indonesia. Bukan karena tidak ada yang membangun, namun rumah-rumah tersebut sudah tidak lagi masuk dalam kriteria harga rumah bersubsidi.

Hal ini ironis, lantaran wilayah timur turut serta bertumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan sektor properti khususnya, dalam tiga tahun terakhir. Pembangunan perumahan di tiga kota seperti Makassar, Balikpapan, dan Manado pun sangat tinggi. 

Eddy mengungkapkan, Manado dan Makassar merupakan rumah kedua bagi penduduk Indonesia dari Papua dan sekitarnya. Sementara, Balikpapan bertumbuh karena kemajuan pertambangan minyak, jasa, dan perdagangan.

Ia menambahkan, para pengembang yang tergabung dalam APERSI mengeluhkan sulitnya penyerapan rumah murah buatan mereka di wilayah timur. Padahal, para pengembang tersebut sudah telanjur membangun rumah. Ini dimungkinkan lantaran harga baru yang diterbitkan oleh Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) belum kunjung disetujui oleh Menteri Keuangan.

"Karena menunggu terlalu lama dan tidak ada kepastian, maka secara perlahan kami masuk ke komersial. Pembebasan pajak untuk harga baru belum juga disetujui oleh Menteri Keuangan. Padahal, pembebasan pajak akan sangat membantu meningkatkan jumlah pasokan rumah bersubsidi yang jumlahnya sangat rendah," ujar Eddy.

Eddy memberikan contoh, masyarakat Makassar terpaksa membeli rumah dengan harga di atas ketentuan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Dengan kata lain, pengembang terpaksa menjual rumah dengan harga komersial sekadar mampu mempertahankan usahanya. "Iya, untuk survive, kami terpaksa masuk komersial, walaupun penyerapannya lambat," tambah Eddy.

Hal yang sama diungkapkan Direktur Pemasaran Perum Perumnas Muhammad Nawir. Dalam konferensi pers seusai Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Perum Perumas di Jakarta, Kamis (20/3/2014), Nawir mengonfirmasi bahwa Perum Perumnas juga terpaksa menjual beberapa hunian tanpa memanfaatkan FLPP. Meski harganya relatif rendah, namun sudah tidak lagi termasuk dalam ketentuan harga rumah bersubsidi.

"Soal harga, terus terang kalau yang subsidi kami masih menggunakan peraturan lama. Beberapa lokasi yang sudah tidak memungkinkan, sehingga harga tidak bisa dipertahankan. Karena Menteri Keuangan belum memandatkan penyesuaian tentu kalau harganya masih di koridor Rp 88 juta, Rp 95 juta, atau Rp 144 sesuai daerahnya, harus bebas PPB. Kalau tidak, tentu sementara ini terkena PPN sampai nanti ada aturan yang baru," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau