Khusus untuk ekonomi, perwujudannya diimplementasikan dalam ASEAN Economic Community (AEC). Namun, bagaimana kemudian para pelaku bisnis dan industri properti menyikapi komunitas ekonomi tunggal ASEAN ini?
Direktur Utama PT Telkom Landmark Tower, Bayu S Utomo, menyatakan, sebelum atau kelak AEC berlaku, bisnis dan industri properti Indonesia tetap berjalan mengikuti kondisi permintaan dan pasokan (supply and demand) domestik.
"Pasar Indonesia didorong oleh kebutuhan domestik yang terus menguat. Bahkan, saat krisis 2008 lalu, permintaan tetap ada. Kebutuhan domestik di sektor properti masih terlalu kuat, sehingga AEC tak berpengaruh menciptakan perbedaan kondisi pasar," ujar Bayu di sela RICS ASEAN Real Estate and Construction Summit di Jakarta, Selasa (25/2/2013).
Bayu mengatakan, tidak ada negara yang bisa menyaingi tekanan kompetisi di Indonesia. Negara ini merupakan pasar yang sangat besar untuk dimasuki developer asing asal Asia Tenggara.
"Jadi, kami tidak akan terpengaruh. Keadaan akan sama saja, tidak ada perubahan signifikan yang memungkinkan pengembang asing mengambil alih peran kami," katanya.
Kalau pun pengembang asing berminat masuk Indonesia, ujar Bayu, harus mengenal lingkungan dan iklim bisnis properti dengan baik, termasuk di dalamnya masalah perolehan lahan, dan perizinan.
"Selama ini, secara koporat mereka beroperasi dengan menggandeng pengembang lokal. Meskipun dalam pembelian lahan dan akuisisi aset properti tak dilarang sebagaimana halnya pelarangan kepemilikan oleh individu asing, namun pengembang mancanegara lebih memilih opsi kerjasama," ujar Bayu.
Selain itu, Bayu menambahkan, jangan dilupakan bahwa pengembang adalah investor yang rasional. Mereka pasti melihat potensi pengembalian investasinya layak atau tidak.
"Pasti akan selalu ada batasnya, tidak lantas arus investasi asing deras mengalir. Kalau pun pengembang asing menggarap pasar Indonesia, akan menciptakan produk dengan harga lebih tinggi," kata Bayu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.